[Baca langsung di PrismaResource.com.]
oleh Jennie M. Xue
Setiap individu, baik laki-laki, perempuan, maupun transgender, pasti mempunyai impian dan cita-cita. Namun berbagai hal menghalangi para perempuan dan transgender untuk menjadi diri sendiri. (Beruntunglah para laki-laki.) Tuntutan sosial, terutama tekanan keluarga dan peer pressure, seringkali membuat pilihan hidup jadi terbatas. Juga adanya berbagai bentuk diskiriminasi dan persekusi yang dilakukan oleh negara baik yang didukung oleh hukum positif maupun oleh oknum-oknum negara.
Berbagai bentuk persekusi terhadap para individu homoseksual dan transgender di Indonesia merupakan makanan sehari-hari. Dan ini telah mencapai tingkat mengkhawatirkan. Mereka sangat tidak nyaman untuk menjadi diri sendiri. Tugas kita semua untuk membuat setiap individu di Indonesia merasa nyaman untuk eksis dan mencapai cita-cita dan tujuan hidup mereka. Kita tidak berhak menghalangi mereka untuk berbahagia, hanya karena mereka berbeda dari kita.
Sebenarnya, apa definisi “persekusi” itu? Menurut The United Nations Human Rights High Commssioner for Refugees (UNHCR) dan The 1951 Refugee Convention definisi “persecution” adalah adanya “well-founded fear.”
Definisi populer penulis, “persekusi” adalah suatu situasi menakutkan yang dialami seseorang yang merupakan bagian atau anggota dari suatu kelompok alami maupun organisasi yang berkarateristik tertentu berdasarkan berbagai atribut alami (etnis, orientasi seksual, orientasi gender, gender, dan sebagainya) dan atribut pilihan (agama, orientasi politik, keanggotaan institusi, dan sebagainya). Situasi “menakutkan” ini berhubungan dengan keamanan fisik, psikologis, dan emosional.
Di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia dan Meksiko, terlepas dari prinsip “setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum,” seringkali berbagai dogma agama yang salah dan kadaluwarsa serta kultur yang mengucilkan mereka yang non-konformis, posisi negara bisa menjadi “pengayom” para oknum negara yang melakukan aktivitas-aktivitas yang mengancam keamanan para transgender. Dengan melalukan omisi atau “pembiaran” berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap para transgender, negara telah menjadi “pelaku” persekusi secara pasif.
Definisi “dipersekusi” bersifat subyektif yang dilindungi oleh berbagai undang-undang imigrasi dan pengungsi (refugee and asylee) berbagai negara maju di dunia, termasuk di Amerika Serikata. Artinya, setiap orang mempunyai zona nyaman yang berbeda. Sebagai contoh, saya pernah diminta menjadi saksi ahli untuk suatu kasus persekusi transgender di AS. Ia telah lama dipersekusi sebagai seorang transgender.
Kasus ini adalah salah satu kasus individu transgender asal Indonesia di negara asing. Ia merupakan korban berbagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, seperti dirazia oleh para polisi dan “digrebek” di rumah hanya karena ia adalah seorang transgender (berorgan kelamin laki-laki namun berpikiran perempuan). Selain itu, tekanan sosial membuatnya hanya dapat memilih pekerjaan yang berhubungan dengan kecantikan (hair and beauty salon), hiburan (entertainment as “drag queen”) dan pemijatan (massage), padahal ia berpendidikan sarjana manajemen dan bercita-cita untuk bekerja di bank dan industri finansial.
Kultur korporasi di Indonesia pun belum menyambut dengan hangat para karyawan transgender yang sesungguhnya mempunyai hak yang sama dengan mereka yang bukan transgender. Dengan alasan pemakaian seragam dan berbagai alasan superfisial lainnya, seorang transgender dibuat “tidak nyaman” untuk berkarya di antara mereka yang bukan transgender.
Akibatnya, mereka hidup mengelompok di lingkungan yang “ramah” terhadap transgender. Ini sangat disayangkan dan tidak manusiawi. Bukankah suatu posisi dalam organisasi ditentukan oleh kemampuan (skills and knowledge) daripada orientasi gender (gender orientation)? Betapa sayangnya demikian banyak sumber daya manusia transgender yang disia-siakan di dalam masyarakat.
Data statistik menunjukkan angka bunuh diri (suicide rate) di antara para transgender adalah yang tertinggi. Menurut the National Transgender Discrimination Survey (NTDS) di Amerika Serikat yang dilakukan oleh National Gay and Lesbian Task Force and National Center for Transgender Equality di Amerika Serikat, 41 persen dari para individu transgender pernah melakukan tindakan bunuh diri. Ada yang berhasil, ada yang masih hidup.
Ada beberapa kasus di mana para transgender tidak mendapatkan jasa konseling dari Suicide Hotline via telpon mengingat para konselor tidak mempunyai bekal keilmuan yang cukup untuk memberi advis. Jadilah angka bunuh diri para transgender masih cukup tinggi.
Para individu transgender yang memilih untuk membunuh diri mereka, biasanya telah mengalami diskriminasi, viktimisasi, dan kekerasan di sekolah, tempat kereja, dan rumah sakit/klinik. Bahkan cukup banyak dari antara mereka yang tidak diterima oleh keluarga sendiri. Di AS, 60 hingga 70 persen dari mereka akhirnya hidup menggelandang di jalan.
Di mana Indonesia dalam Empat Gelombang Feminisme, tidaklah begitu jelas. Setiap kelompok demografi berada dalam gelombang yang berbeda. Dan ini menempatkan para perempuan, anak-anak, dan transgender di bagian bawah totem rantai makanan (food chain) masyarakat. Anak-anak transgender malah menanggung tekanan sosial dobel, mengingat mereka menjadi korban bullying di sekolah oleh anak-anak non-transgender.
Bahwa ada lebih dari dua gender sesungguhnya telah lama diakui oleh berbagai sub-kultur di Indonesia, seperti dalam kultur Jawa dan Bugis. Dalam kultur Jawa, ada para warok dan gemblak. Dalam kultur Bugis, ada lima gender: laki-laki (oroané), perempuan (makkunrai), bissu, calabai and calalai.
Tradisi dalam Jawa dan Bugis ini sebenarnya merupakan bentuk pengakuan sosial terhadap para transgender dan sebaiknya gencar diingatkan dalam masyarakat Indonesia yang semakin plural dan semakin mengental aura dogmatiknya dengan membanjirnya simbol-simbol fanatisme agama tertentu yang telah mencapai tahap mengkhawatirkan. Ini tugas kita semua untuk terus-menerus mengingatkan hak-hak dasar setiap individu, termasuk para transgender.
Di Amerika Serikat sendiri, gerakan para transgender termasuk anak-anak dan keluarga transgender semakin disorot. Ini merupakan berita baik namun perjalann masih panjang, mengingat negara-negara bagian bible belt seperti Mississippi, Alabama, dan sebagainya masih sangat anti terhadap kaum transgender. Namun gerakan terbaru para transgender telah semakin meredam radikalisme, termasuk para feminis radikal yang tidak mengakui seseorang yang terlahir laki-laki dipanggil sebagai “she” (feminin dari “dia”).
“Kasta” dalam dunia transgender membedakan mereka yang terlahir dengan organ kelamin laki-laki dan yang terlahir dengan organ kelamin perempuan. Mereka yang berorgan laki-laki masih menikmati “cipratan” nuansa patriarki, di mana gender laki-laki lebih diterima secara sosial. Namun para radikal feminis menolak nosi bahwa seseorang berorgan kelamin laki-laki bisa mempunyai otak yang perempuan, mengingat keyakinan mereka bahwa seseorang menjadi “perempuan” karena bentukan sosial.
Dalam Gelombang Keempat Feminisme, seseorang adalah “perempuan” tanpa dibatasi oleh “bentukan sosial” namun atas berbagai pilihan maupun keadaan alami fisiologis. Dengan kata lain, seseorang adalah “apa yang diyakini akan dirinya.” Tanpa paksaan dan pengotakan.
Akhir kata, setiap individu mempunyai hak dan privilese yang identik untuk memilih jalan hidup dan berkarya sesuai dengan panggilan hati mereka. Bukan tempat kita untuk menghakimi dan mengkotak-kotakkan mereka. Sepanjang kita tidak mengganggu satu sama lain, marilah hidup dalam harmoni dan penerimaan (acceptance).[]
Prisma Resource, 5 Februari 2015