[Baca langsung di Prisma Indonesia.]
oleh Jennie M. Xue
Feminisme gelombang Keempat mengimbau dan mendukung kerja sama sinergistik antar-gender. Gerakan feminisme membutuhkan laki-laki berperan aktif dalam membangun kultur yang bebas misogini dan seksisme. Sudut pandang ber-bias patriarki dalam hampir setiap aktivitas sebaiknya disadari penuh, sehingga berbagai struktur sosial, kultural, politik, dan hukum bisa direvisi sesuai perkembangan zaman.
Seorang laki-laki yang terbiasa hidup dalam kultur patriarki mungkin akan cukup sulit menanggalkan “kacamata berwarna” (tinted glasses) yang membentuk dan menghiasi berbagai pemikiran, perilaku, dan perkataannya. Namun, dengan menggunakan kapasitas intelektual dan afeksi empati, warna kacamata tersebut bisa diubah.
Pertama-tama sebaiknya kita semua mencari “bias” (baca: prasangka, purbasangka) yang baik. Kita tidak bisa mentah-mentah memakai paradigma alias “kacamata berwarna” yang diturunkan turun-temurun dalam kultur yang memasuki setiap sisi kehidupan. Setiap individu punya kemampuan untuk menanggalkan hal-hal yang “salah” dan menggantikannya dengan hal-hal yang “benar.”
Tanpa disadari, setiap orang sesungguhnya adalah seorang feminis maupun maskulis maupun maskulinis, terlepas dari gendernya. Namun, batas-batas “feminis,” “maskulis,” dan “maskulinis” semakin berbaur. Ada yang berusaha “netral” dengan “tidak membela” mana pun. Ada yang mengira “berpihak” pada salah satu, namun ternyata hanya meneruskan struktur dan pandangan berdasarkan “kacamata berwarna” tertentu. Hal itu terjadi pada tingkat sadar, bawah sadar, maupun dalam filosofi, kebijakan, eksekusi, implementasi, serta aktivitas sehari-hari.
Istilah “maskulinisme” (masculinism) pada awalnya (versi 1.0) mengacu pada gerakan politik, kultural, dan ekonomi yang bertujuan untuk menegakkan dan membela hak-hak dan partisipasi laki-laki dalam suatu masyarakat, termasuk kontrasepsi, pemeliharaan anak, pembiayaan anak (alimony), dan kesetaraan upah kerja. Konsep ini sering kali beriringan dengan hak-hak ayah (father’s rights) dan pembebasan laki-laki (men’s liberation).
“Maskulinisme” merupakan gagasan paralel dengan “feminisme” di awal abad ke-20 dan singkatannya “maskulisme” (masculism) populer di tahun 1980-an. Gerakan politik maskulinis (masculist political movement) dipelopori oleh E Belfort Bax (1913) dengan The Fraud of Feminism. Terminologi “maskulisme” dipopulerkan pada tahun 1990-an oleh Warren Farrell dan Jack Kammer dalam konteks perubahan peran gender dalam masyarakat.
Filsuf Ferrell Christensen membedakan “maskulisme” dengan “maskulinisme.” Maskulisme menitikberatkan ekualitas dengan perempuan, sedangkan maskulinisme menyorot faktor-faktor maskulin nan macho seorang laki-laki. Ilmuan ilmu politik Georgia Duerst-Lahti juga membedakan keduanya; maskulisme (versi 2.0) merupakan bagian dari gerakan ekualitas gender laki-laki yang terkadang kurang sepaham dengan feminisme, sedangkan maskulinisme merupakan bagian dari patriarki yang menempatkan perempuan sebagai “gender kedua.” Istilah “the second sex” dipopulerkan oleh filsuf eksistensialis Perancis bernama Simone de Beauvoir dalam buku berjudul The Second Sex (1949).
Namun, para maskulis (masculists) mempunyai spektrum luas dari yang “anti feminis” hingga “pro feminis.” Para maskulis yang “pro feminis” biasa disebut sebagai “feminis laki-laki.” Contoh feminis laki-laki asal Indonesia adalah Patrisius Mutiara Andalas, SJ dengan bukunya Lahir dari Rahim: Wacana Perempuan tentang Allah di Era Globalisasi (Kanisius, 2009). Sementara almarhum Kurt Cobain dari grup musik Nirvana adalah seorang feminis yang mendukung ekualitas absolut antara laki-laki dan perempuan.
Pertanyaannya sekarang bukan lagi “bisakah kedua gender tersebut menjadi mitra sinergistik,” melainkan “bagaimana kemitraan sinergistik bisa diwujudkan secepatnya.”
Pertama, kapasitas intelektual dan afeksi akan empati perlu ditanamkan sejak dini dan dijalankan dengan kesadaran akan adanya “broken window” dan bagaimana “broken window” diatasi sebelum terjadi keretakan yang lebih besar, bahkan kehancuran si “jendela.” Broken Window Theory diperkenalkan oleh ilmuwan James Q Wilson dan George L Kelling pada 1982 dengan tesis bahwa apabila retak kecil di jendela tidak diperbaiki, maka retak akan membesar dan akhirnya menghancurkan kaca jendela sehingga hal-hal buruk masuk secara masif.
Dalam konteks kriminologi, itu diterapkan dengan menghukum tindakan pelanggaran kecil agar tidak terjadi pelanggaran besar sebagai efek “naik kelas.” Dalam konteks ekualitas gender, kita bisa gunakan dengan “menegur” setiap perbuatan dan perkataan yang misoginis dan seksis agar tidak “naik kelas” menjadi hal-hal yang lebih besar, seperti kebijakan-kebijakan dan pertimbangan kemanusiaan lainnya. Sebagai contoh, setiap kali ada yang melontarkan lelucon dan komentar ringan yang mendiskreditkan, membebani, dan membuat perempuan merasa “tidak nyaman” hendaknya segera ditegur, siapa pun dia.
Kedua, perlu edukasi untuk tujuan “mencerahkan” bagi para perempuan dan laki-laki yang memegang teguh paham tradisional “perempuan adalah pendukung suami dan anak-anak belaka” bahwa ini adalah pandangan yang “salah.” Perhatikan bahwa penulis menuliskan “salah” dalam tanda kutip. Di sini, penulis sedang menerapkan prasangka (bias) yang mendukung kesetaraan gender demi kelangsungan kemanusiaan yang sinergistik dan optimal.
“Kacamata berwarna” yang dipakai wajib diganti dengan warna lain yang “ramah” terhadap perempuan. Hal demikian memerlukan suatu “kenaikan kelas akan kesadaran” (consciousness shift) yang krusial.
Ketiga, internalisasi paradigma “ramah perempuan” akan bermuara pada “ramah bagi sesama manusia”; perempuan dan lelaki sama-sama merasa “nyaman” di dalam struktur masyarakat. Saat itulah sinergi antar-gender niscaya akan “naik kelas” dalam kemanusiaan universal.[]
Prisma Indonesia, 15 Januari 2015