Select Page


[Download PDF KONTAN DAILY Facebook Benci Tapi Rindu]

oleh Jennie M. Xue

Siapa yang tidak kenal Facebook? Dari presiden di ibukota negara hingga para pemulung di pinggiran kota pasti kenal Facebook.

Jaringan media sosial ini juga digunakan untuk berbagai kepentingan, dari mengelola reuni SMA hingga mempromosikan kompleks properti dan ideologi. Ada bisnis rumahan yang berhasil membawa omzet puluhan hingga ratusan juta Rupiah dengan bermodalkan “jualan di Facebook.”

Jika Anda pengguna Facebook setia yang tidak pernah bolos mengecek akun satu hari pun dan selalu update dengan status teman-teman di newsfeed, mungkin sebenarnya Anda telah teradikisi. Dalam artikel ini, kita bahas apa yang membuat Facebook mampu membius para pengguna dan bagaimana ia menjadi benchmark bisnis yang berharga.

Fenomena “the network effect” sangat terasa, karena hampir semua orang yang kita kenal pasti punya akun Facebook. Jadi, share berita keluarga, foto-foto perjalanan, dan info wisuda sangat mudah. Dan ketika kita vakum di Facebook, sering kali kita merasa ketinggalan berita.

Dengan 2 miliar pengguna, Facebook semakin punya arti bagi pengguna. FOMO alias “fear of missing out” menjadi semakin nyata. Dan ini sangat besar artinya bagi para data scientist, data analyst, dan pengiklan. Data is power.

Bayangkan saja, dengan data pengguna yang lengkap, setiap persona dalam Ilmu Pemasaran dapat diidenfitikasi dengan sangat jelas. Yang dimaksud dengan “persona” adalah fiksionalisasi atribut konsumen berdasarkan karakter-karakter tertentu, bukan semata-mata faktor demografi belaka.

Sebagai contoh, ketika pemilihan umum presidensial Amerika Serikat di tahun 2016, kubu Trump menggunakan jasa firma konsultasi Cambridge Analytica untuk melakukan analisis data. Facebook saat itu memberi akses untuk riset akademis yang lebih longgar daripada korporasi, jadilah mereka berhasil “menambang” data dengan kuis 270,000 anggota Facebook dan friends mereka yang mencapai 87 juta orang.

Universitas Copenhagen di Denmark menemukan fakta bahwa para pengguna Facebook yang hiatus selama satu minggu ternyata mengalami lebih banyak perasaan positif daripada mereka yang terus-menerus menggunakan media sosial ini. Jadi, bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya “pleasant experience” pengguna tidak terpenuhi. Uniknya, manajemen Facebook sendiri juga tidak mementingkan hal ini.

Facebook lebih mengutamakan “menambang data” dari para pengguna. Penambangan inilah “produk utama” Facebook, yang sangat digemari oleh para pemasang iklan. Data geografis, demografis, pilihan gadget, perilaku, dan lainnya dapat ditelusuri dengan sangat mudah dengan analitiks data Facebook.

Satu, gratis itu mahal. Sesungguhnya menggunakan Facebook tidak gratis, malah “mahal sekali” harganya, karena kita membuka data diri untuk “ditambang.” Dengan kata lain, dalam model bisnis “gratis,” sesungguhnya konsumen mensubstitusi pembayaran finansial dengan data atau hal-hal lain yang “tidak kasat mata.”

Dua, siapa yang menguasai data, ialah pemenang di era Big Data dan otomatisasi ini. Penambangan data kini cukup mudah untuk dilakukan dengan berbagai algoritma pendukung. Hal-hal sepele pun kini sangat mengandalkan data, seperti judul-judul dan topik-topik buku yang “pasti laris” berdasarkan data historis.

Tiga, pengalaman penggunaan produk yang positif dapat dinomorduakan ketika data pengguna telah dikuasi secara optimal. Facebook merupakan contoh nyata. Bagi konsumen, jelas ini merugikan karena kesejahteraannya tidak diutamakan. Padahal, bukankan konsumen adalah raja?

Anda pasti pernah mengalami “kebingungan” kok baru saja mengunjungi situs tertentu, eh, Facebook menayangkan iklan situs tersebut? Kebetulan? Facebook mampu menebak pikiran Anda?

Bukan, ini adalah strategi retargeting atau remarketing dengan algoritma Facebook. Para pemasang iklan Facebook Ads disarankan untuk memasukkan Facebook Pixels yang dapat mengenali perilaku pengguna situs. Bahkan dari alamat email pengguna dapat di-match dengan data pengguna Facebook sehingga bisa dikenali data-data pribadi mereka.

Kesimpulannya, Facebook sebagai jaringan media sosial mempunyai power luar biasa dengan jumlah data luar biasa mendetil. Data tersebut itulah “produk” yang dijual Facebook, bukan kenyamanan pengguna. “Gratis”-nya penggunaan Facebook kita bayar mahal.

Benci tapi rindu dengan Facebook? Apapun pilihan Anda, gunakan Facebook secara etis dan sehat, terutama sebagai sumber data pengguna Internet yang dapat dimonetisasi.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 14 September 2018

Pin It on Pinterest

Share This