Select Page

Kontan

Download KONTAN Weekly Evaluasi Kinerja via Crowdsourcing

oleh Jennie S. Bev

Di era serba crowd-related, dimulai dari crowdsourcing beramai-ramai mengomentari sesuatu hingga crowdfunding seperti Kickstarter untuk mendapatkan dana startup dan Obama Web campaign funding lengkap dengan wikinomicsnya. Juga kita kenal crowdreviewing seperti Yelp dan review Web sites lainnya, kini sudah saatnya performance review juga dilakukan secara crowdsourcing. Eric Mosley, CEO dari Globoforce management firm dalam bidang SDM, mempopulerkan konsep ini sebagai “crowsourcing performance review.” Jet Blue, KPMG dan P&G telah menerapkan sistem ini.

Premis dari “crowsourcing performance review” (CPR) adalah menggunakan kekuatan pengakuan sosial untuk mentransformasikan employee performance (EP). EP gaya lama dilakukan dengan wawancara maupun dengan survei pendek multiple choice beberapa pertanyaan yang jawabannya bisa dipilih oleh penilai. Kinerja pegawai diukur dengan kuantitas hasil dan kualitas yang diawasi oleh atasan atau stakeholder lainnya setelah proyek selesai.

Gaya lama seperti mempunyai beberapa kelemahan: penilaian dilakukan tidak seketika ketika suatu impresi terjadi, penilaian bisa dilakukan tanpa data set yang memadai, penilaian sudah melalui filtrasi subyektif yang sulit diverifikasi, dan penilaian merupakan momok periodik dan bukan sesuatu yang inheren terjadi setiap saat ketika kinerja terjadi.

Realitas bahwa project management sangat dibutuhkan dengan tingkat keketatan tinggi agar hasil memadai tercapai. Di sinilah EP review dengan CPR masuk dengan manis. Bisnis-bisnis media termasuk pionir dalam mengggunakan social media dalam kinerja, seperti Web site dengan RSS yang dikoneksikan dengan Twitter, Facebook, dan Reddit, misalnya. Namun perusahaan-perusahaan di bidang non-media masih ada yang “anti” dengan social networking maupun Internet di tempat kerja.

Padahal penggunaan Skype sebagai sarana monitor sudah biasa digunakan di tempat-tempat kerja di AS. Skype memudahkan komunikasi secara teks dan visual tanpa perlu beranjak dari tempat duduk. Berbagai sarana social media dan mekanisme Web-based bisa cukup efektif dalam meningkatkan produktivitas.

Penilaian EP gaya lama bisa ditunggangi muatan-muatan “office politics,” misalnya atasan yang tidak ingin agar bawahannya melampaui si atasan dalam hal kinerja dan alasan-alasan lainnya yang tidak masuk akal. Penilaian “positif” maupun “negatif” berdasarkan opini subyektif mempunyai resiko tinggi bagi bawahan. Low morale bisa terjadi sebagai akibatnya, yang sebenarnya merupakan antitesis dari EP review itu sendiri.

Seorang manager mungkin baik dalam hal-hal tertentu, namun kemampuannya dalam memberikan penilaian belum tentu memadai. Ini merupakan kendala lagi. Metode EP review konvensional juga mempunyai keterbatasan dalam hal korelasi sejajar antara merit dengan kenaikan gaji, misalnya.

Kuantifikasi dan pengukuran di pos-pos yang bukan sales, misalnya, sulit dibuatkan metriknya. Muatan subyektif terlalu besar, karena opini atasan bukanlah data. Bahkan bisa saja hanya beberapa segi dari kinerja yang diamati, terutama yang kasat mata. Bagaimana “inisiatif” dan “kerja sama tim” dikuantifikasikan untuk diukur?

Para eksekutif yang berpengalaman dalam strategi karir, misalnya, bisa dengan mudah mengumpulkan “data” kualitatif dalam negosiasi kenaikan gaji. Riset Gallup  tahun 2012 menunjukkan bahwa “360-Degree Review” pun mempunyai kelemahan mengingat penilaian multi-sumber seringkali mengungkap data performance yang saling bertolak belakang. Dengan kata lain, malah membingungkan pembaca EP.

EP review konvensional mempunyai skalabilitas yang sangat terbatas. Bagaimana seorang direktur mengolah opini-opini kualitatif tentang kinerja puluhan bahkan ratusan pekerja? EP review dengan crowdsourcing juga tidak sempurna, namun daya skalabilitas tinggi. Lantas bagaimana menerapkan crowdsourcing dalam EP?

Tesisnya: pengetahuan yang disebarkan merupakan kontrak sosial dan termanifestasi dalam perbuatan. Influencer di suatu crowd akan menonjol dan kinerjanya mempengaruhi kinerja grup atau tim tersebut. Jadi, lepaskan atribut jabatan dan senioritas, walaupun dua hal ini sebenarnya mempunyai andil dalam kemampuan influencing seseorang. CPR menggabungkan praktek-praktek dan kebiasaan-kebiasaan kultur organisasi dengan perubahan-perubahan cepat teknologi dan dunia bisnis.

Atmosfir “happiness” sangat tinggi nilainya dalam CPR. Happiness bisa diukur dengan keamanan kerja (zero accident), pencapaian tujuan, bekerja bersama-sama (bukan “teamwork” belaka), menyebarkan inspirasi dan motivasi, dan menerapkan keadilan dan merit. Crowd mempunyai sifat herding di mana influencer berskalabilitas bisa meningkatkan semangat kerja, kreativitas, dan inovasi. Selamat ber-crowdsource.[]

KONTAN Weekly, 15-21 Juli 2013

Pin It on Pinterest

Share This