Select Page

City Car

Kontan Logo

KONTAN Weekly Era Thought Leadership

oleh Jennie M. Xue

Thought Leadership (TL) lebih dari sekedar membangun kredibilitas pribadi. TL memberikan kesempatan belajar dan mengajar yang jarang bisa ditemui dalam kesempatan lain. Bagi seorang pebisnis dan eksekutif, TL merupakan kesempatan besar untuk meroket secara finansial maupun karir.

Startup-startup di Silicon Valley mengenal “startup leadership” yang merupakan bentuk publisitas yang menaikkan valuasi (business valuation). Uber, misalnya, kini menjadi salah satu startup terseksi di dunia dengan nilai valuasi USD 18 miliar. Dan valuasi ini bisa jadi masih terlalu rendah (undervalued).

Terlepas dari disrupsi bisnis yang ditawarkan oleh aplikasi pemanggilan mobil sewaan Uber, fase awalnya sangat erat hubungannya dengan publisitas berhasil sebagai TL. Uber memposisikan diri sebagai aplikasi pemanggil mobil dan jemputaan sewaan untuk iPhone dan Android, jadi semacam konsolidator, bukan penjual jasa jemputannya.

Dalam kolom ini, saya ingin mengajak pembaca untuk menganalisa bahwa suatu produk konsolidator ternyata bisa menjadi primadona bisnis dunia. Uber mempunyai potensi untuk lebih populer lagi. Terbantu oleh TL profesionalnya.

Salah satu tim TL Uber adalah Gary Vaynerchuk dengan bukunya Jab, Jab, Jab, Right Hook, yang merupakan salah satu pendiri dan investor. Prinsip Uber sebagai TL diawali dengan menjadi early adopter yang menikmati first mover advantage. Setiap bisnis pionir mempunyai kesempatan untuk menikmati “harvest” pertama tanpa kompetitor.

Selanjutnya, TL dapat dipertahankan dengan word-of-mouth dan publicity yang efektif. Word-of-mouth positif merupakan reward terbaik bagi suatu bisnis. Namun publicity yang baik seakan-akan membuka jendela bagi para konsumen untuk melongok ke dalam HQ dan tim manajemen Uber. Ini meningkatkan lagi TL entitas.

Ekspansi Uber mengalami banyak tantangan. Setiap cabang kota baru, mereka terbentuk peraturan setempat mengenai transportasi publik dan penyewaan transportasi. Di beberapa kota, penumpang Uber mengalami perampokan dan pencurian. Keamanan penumpang merupakan salah satu masalah utama yang dialami oleh Uber. Juga para supir taksi menentang kompetitor baru mereka.

Hebatnya, Uber melihat masalah-masalah yang dihadapinya sebagai kesempatan untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka mempunyai kapasitas untuk “membuka jalan baru.” Uber menunjukkan bahwa mereka adalah “thought leaders.”

Caranya adalah dengan menggunakan argumen-argumen pro-konsumen. Setiap masalah merupakan kesempatan untuk digunakan sebagai platform “bercerita.” Gary Vaynerchuk sendiri adalah jagoan publisitas yang menggunakan story telling sebagai kendaraan dalam mencapai sukses.

Dalam dunia Web 2.0 yang sedang bermetamorfosis menjadi Web 3.0, brand publishing merupakan salah satu bentuk TL yang mulai dikenal. Anda pasti pernah membaca artikel fitur maupun opini yang tidak menyiratkan merek apapun, namun topiknya bersinggungan secara tidak langsung dengan penulis dan bisnis penulis.

BMW, misalnya, pernah menjadi sponsor artikel mengenai desain ultra modern yang ditulis oleh seorang penulis profesional. Menurut profesor Harvard University Howard Stevenson, seorang entrepreneur mengejar kesempatan tanpa terhalangi oleh jumlah sumber daya yang mungkin kurang memadai. Brand publishing “mengisi” kekurangan ini dengan kesempatan berceritera tanpa batas.

Kuncinya adalah kredibilitas tertinggi. Tidak menjual. Namun memberikan informasi, mencerahkan, dan memberi sumbangsih bagi masyarakat luas tanpa pamrih. “Tanpa pamrih” di sini merupakan substansi dari argumen dan kisah yang disampaikan. Tanpa perlu memasukkan data maupun merek bisnis yang bersangkutan.

Dengan kata lain, opini publik dibentuk secara tidak langsung. Semakin melek publik akan informasi tertentu, maka diharapkan mereka semakin mengapresiasi produk tertentu. Para thought leaders bisa dijumpai di media-media sosial, terutama di LinkedIn dengan para influencers-nya.

Kita semua bisa belajar dari Uber yang sangat taktis dan strategis dalam memainkan kartu dan menyelesaikan masalah dengan mengeksposnya secara jenial di media sebagai thought leader. Era informasi sudah memasuki “sukma” dari narasi dan argumen. Promosi dijalankan tidak secara langsung dan vulgar. Intinya adalah mengubah opini publik dengan informasi netral dari thought leader.[]

KONTAN Daily, 17-23 November 2014

Pin It on Pinterest

Share This