Select Page
tinyhouse_grey450

Image Source: TinyHousesSwoon.com

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN Weekly Era Pasca Properti]

oleh Jennie M. Xue

Tiny Home Movement alias Gerakan Rumah Mikro di Amerika Serikat telah dimulai sejak implosi Lehman Brothers di musim panas 2008. Hingga hari ini, proses penyitaan properti masih terjadi di seluruh AS, namun angkanya jelas telah menurun mengingat telah tujuh tahun berjalan.

Situasi ekonomi seperti ini melahirkan para homeowner pasca-modern yang lebih mementingkan fungsi dan arti hidup daripada gengsi dan impresi dari kepemilikan McMansion (istilah yang dipakai untuk kepemilikan properti bergengsi di lingkungan suburban).

Rumah-rumah mikro biasanya terbuat dari kayu dan berukuran super mini antara 8 meter persegi hingga 50 meter persegi. Rumah-rumah ini biasanya bisa diangkut dengan truk dan diletakkan di tanah kosong atau di halaman rumah milik saudara, teman, atau sewaan.

Filosofi Tiny Home Movement (THM) berpijak kepada kebahagiaan internal dan imaterial. Kepemilikan properti bombastis bukanlah merupakan indikator kebahagiaan sebenarnya. Sebaliknya, mencicil properti dengan KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) merupakan bentuk pengumpulan liabilitas (hutang), bukan pengumpulan aset.

Para partisipan THM sadar betul akan hal ini. Namun tentu saja jumlah mereka tidak seberapa dibandingkan dengan para peminat KPR.

Consumer disobedience selalu ada dalam suatu masyarakat. Semakin tinggi pendidikan dan kesadaran akan hak-hak konsumen serta kemampuan membangun rumah kayu yang penuh fasilitas dan interior yang manis dan fungsional, maka semakin besar keinginan untuk bergabung dalam THM.

Di Indonesia, pilihan untuk “hidup mikro” dengan rumah super mungil biasanya didasari oleh kelas sosial-ekonomi dan kemampuan finansial yang rendah. Rumah-rumah kardus di Indonesia diidentikkan dengan para pemulung dan pekerja rendahan yang berpenghasilan kurang dari UMR.

Dalam THM, prinsip spiritualitas lebih menonjol dari materialitas. Dan ini dilakukan bukan dalam spirit “berkekurangan” namun dalam kesadaran akan penghematan berbagai sumber daya, termasuk uang, listrik, air, dan lainnya.

Seorang wartawan asal Swiss yang pernah mewawancarai saya untuk kegiatan aktivisme dan lobi berkonteks anti-foreclosure di California, pernah berujar bahwa di negara asalnya, kepemilikan rumah merupakan “beban.” Sangat berbeda dengan di AS dan Asia, di mana homeownership merupakan “prestasi” dan “simbol status.” Di Swiss, lebih banyak yang memilih untuk menyewa apartemen sehingga mereka dapat bebas bergerak ketika pekerjaan dan hidup memanggil.

Gerakan THM sebagai salah bentuk consumer disobedience merupakan antitesis dari kepemilikan properti sebagai “prestasi” dan “simbol status.” Dan ini merupakan penyeimbang dalam kondisi ekonomi makro yang sangat dipengaruhi oleh supply and demand properti dan KPR.

Apakah THM dapat mempengaruhi gelembung properti (property bubble)?

Belum, karena filosofi Henry David Thoureau akan civil disobedience dan hidup independen bersama dengan alam, hingga hari ini masih jauh dari mainstream. Faktanya, masyarakat masih cukup mudah termanipulasi oleh iklan dan berbagai bentuk pemasaran lainnya.

Masih kabar baik bagi para pebisnis, terutama para pebisnis properti di seluruh dunia. Para konsumen masih berpegang kepada impian akan rumah tempat tinggal yang nyaman dan luas, bukan rumah mikro yang serba minim, efisien, dan mudah diangkut. Kultur materialistis masih mainstream.

Pendukung THM mempunyai berbagai spektrum, bukan hanya mereka yang sangat militan dalam menghemat ruang hidup untuk kepentingan ekologi dan afordabilitas maksimal. Namun juga mereka yang memilih untuk melakukan downsizing dan simplying gaya hidup. Apapun alasan mereka, THM memberi angin segar bagi dunia bahwa masih cukup banyak individu berkesadaran tinggi yang memilih hidup dalam ruang kecil.

Imaterial sebagai pilihan hidup merupakan level-up dari materialitas. Dunia bisnis sebaiknya sudah bersiap diri dengan kehadiran para pendukung THM yang mayoritas berasal dari Generasi Milenial yang jauh lebih spiritualis daripada Generasi Baby Boomer dan Generasi X.

Michael Kors (NYSE: KORS), misalnya, merupakan salah satu merek mewah (luxury brand) yang telah mulai merasakan akibat dari menurunnya daya beli dunia. Menurut data Agustus 2015, dalam 6 bulan terakhir, nilai stok mereka telah turun 38 persen, padahal telah diimbangi dengan beberapa kenaikan.

Tren turunnya demand akan merek-merek mewah akan terus berlangsung secara jangka panjang, karena kultur imaterial semakin tertanam secara universal. Di Indonesia, kalangan atas masih tergila-gila akan merek-merek mewah dan THM masih belum tampak di antara para berpendidikan tinggi dan super tinggi. Namun indikasi di negara-negara maju menunjukkan hal ini.[]

KONTAN Weekly, 2-8 November 2015

Pin It on Pinterest

Share This