Download PDF KONTAN Daily Entrepreneur Pasca Industri
[Di bawah adalah versi yang belum diedit.]
oleh Jennie S. Bev
Bagi
yang belum pernah ke Silicon Valley, mungkin membayangkan wilayah psikologis di
California Utara ini sebagai tempat glamor dengan millionaire IT berseliweran
sana-sini mengendarai mobil-mobil mewah. Tempat tinggal saya Santa Clara merupakan
salah satu dari 37 kota di wilayah ini, di mana para raksasa IT ber-neksus:
Adobe, Agilent, Apple, Cisco, eBay, Google, HP, Intel, Intuit, Nvidia, Oracle,
Sandisk, Western Digital, Yahoo! dan masih banyak lagi.
Yang
menarik bagi saya yang dilahirkan, dibesarkan dan menjadi dewasa di kota
Jakarta, para milionaire Silicon Valley jauh lebih rendah hati dan mawas diri
dalam soal gaya. Seharga satu tas Hermes, mereka bisa dirikan satu perusahaan
dari kertas kosong. Tidak mengherankan jika kemewahan yang sia-sia merupakan
“kebodohan” di mata mereka.
Almarhum
Steve Jobs, yang pernah saya kunjungi kantornya di Cupertino sendiri hanya
mengendarai Mercedes Benz. Mark Zuckerberg pendiri Facebook hanya mengendarai
Acura. Dustin Moskovitz yang berusia 27 tahun adalah milyarder USD termuda di
dunia menurut Forbes, dan ia hanya menetap di kondominium mungil dan
mengendarai sepeda kayuh setiap hari ke kantor.
Apalagi
mereka yang hanya mempunyai beberapa juta dollar saja dari profit perusahaan
mungil mereka. Tidak heran jika saya hanya mengendarai Toyota dan Honda dan
tinggal di rumah yang hanya seharga beberapa buah tas Hermes. Para entrepreneur Silicon Valley dikenal
sebagai “modest millionaire” alias para milyuner yang sederhana.
Tidak
jarang saya bercakap-cakap dengan para VP dari perusahaan-perusahaan di SV ini
ketika sedang berkereta ria. Tidak ada rasa “gengsi” bagi mereka untuk naik
kendaraan umum menuju dan pulang dari kantor. Sangat berbeda dengan para VP di
Jakarta yang kebanyakan berkendaraan Mercedes Benz, yang dikendarai oleh
almarhum Steve Jobs.
Drew
Houston CEO Dropbox, misalnya lebih menyakini pentingnya akan kebebasan dan
inovasi dalam berkreasi. Menurut Alice Marwick, periset Microsoft menyimpulkan
bahwa generasi entrepreneur pasca-industri ini tidak mencari status
bermewah-mewah dari kekayaan mereka, namun mereka kembalikan kepada publik
dengan mendirikan inkubator bisnis dan melakukan kegiatan-kegiatan filantropis.
Juga para juragan teknokrat ini kebanyakan laki-laki geeky yang berkultur
“hacker” di mana inteligensi lebih penting daripada gaya.
Ingat
Tony Hsieh dari Zappos? Ia termasuk salah satu dari milyuner bersahaja dengan entrepreneurialism yang luar biasa. Gaya
hidupnya gembira, positif, dan sederhana dengan hanya memiliki beberapa pasang
sepatu dan pakaian. Sangat bertolak belakang dengan fashion yang dijualnya
secara online melalui zappos.com. Produk-produk branded tersebut adalah
bisnisnya, bukan gaya hidupnya.
Di
Silicon Valley, small and simple are beautiful.
Filsafat
bisnis “hidup sederhana” ini diterapkan dalam pengambilan keputusan-keputusan
bisnis mereka yang serba low-cost. Para entrepreneur pasca-industri inilah yang
memperkenalkan “free economy” dengan segala sesuatu yang gratis, termasuk email
gratis yang dipelopori oleh hotmail, social networking gratis, cloud space
gratis, ebook gratis, dan servis-servis gratis lainnya.
Mindset
Silicon Valley adalah apa yang didirikan, berapa net worth dan valuasi IPO
perusahaan yang mereka miliki, bukanlah mindset “berapa Ferrari yang dimiliki.”
Mungkin buku yang terbaik mengenai mindset para milyuner pasca-industri ini
adalah The Education of Millionaires
oleh Michael Ellsberg. Ia menjabarkan bagaimana menggabungkan passion, purpose,
dan making money.
Filsafat
resilience alias keuletan dan
determinasi sangat menentukan kemampuan bertahan di era resesi dan di masa-masa
awal startup. “Boostrapping” adalah istilahnya dan para teknokrat bersahaja ini
adalah ahlinya. Ketika menginjakkan kaki di San Francisco pada masa awal saya
merintis bisnis, dengan bermodalkan USD 700, saya dirikan perusahaan dari nol.
Kultur
dan filsafat bisnis bersahaja ini sangat dalam tertanam di Silicon Valley. Di
Wall Street dan bisnis manufaktur, filsafat ini tidak terasa signifikansinya,
bahkan bisa dikatakan cenderung kurang. Di SV, asal almamater dan jurusan yang
diambil, tidak ada pengaruhnya terhadap kemampuan earning seseorang. Bahkan banyak game creator genius yang tidak
lulus SMA. Di Wall Street, jika Anda bukan lulusan setingkat universitas
sekaliber NYU, bisa dikatakan Anda “pecundang.”
Penerimaan
terhadap imigran seperti saya, juga sangat baik di SV. Kemampuan menggunakan
teknologi sebagai publisher, sudah cukup dihargai mengingat keahlian
“berkreasi” dengan inovasi mandiri merupakan karakter yang dihormati.
“Rumah”
filsafat saya adalah Silicon Valley: cerdas, inovatif, ulet, bersahaja, dan
filantropis. Alangkah baiknya apabila kultur bisnis Indonesia juga demikian.[]
KONTAN Daily, 21 Desember 2012