Select Page

 Kontan

Download PDF KONTAN Weekly 6 Masalah Skills Gap

oleh Jennie S. Bev

“Skills
gap” (SG) adalah jurang antara kebutuhan perusahaan akan kemampuan karyawan
dengan realitas kualitas kandidat. SG ini merupakan salah satu sebab mandeknya
pertumbuhan suatu organisasi. Dalam skala besar, ini merupakan salah satu sebab
mandeknya pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Bagi
negara berpopulasi 253 juta orang seperti Indonesia, sumber daya manusia
semestinya bukan merupakan halangan. Namun, kenyataannya, banyak perusahaan
yang mengalami kesulitan dalam menyeleksi kandidat dan mempekerjakan karyawan. Keluhan
klasik para eksekutif SDM adalah, “Sulit menemukan yang berkualitas sebagaimana
dibutuhkan.”

Dari
data BPS, 46% penduduk Indonesia berpendidikan SD, 19.3% berpendidikan SLTP,
24% berpendidikan SLTA, dan 5.6% berpendidikan sarjana. Sisanya sekitar 5%,
belum pernah bersekolah. Dari landskap SDM demikian, bisa dimengerti mengapa
pekerjaan berkerah putih masih menjadi dambaan pekerja dan cukup sulit untuk
mendapatkannya.

Dengan
angka kelahiran per tahun mencapai 3.5 juta sampai 4 juta bayi, yang jumlahnya
sebesar penduduk Singapura, bisa dibayangkan betapa oversupply SDM di Indonesia merupakan isu besar yang perlu
dipecahkan segera. Karena ini berarti jumlah kandidat berpendidikan SD makin
bertambah, sedangkan kualitas pendidikan formal dan pelatihan masih sangat bisa
diperbaiki.

Dari
perspektif perusahaan, menyaring kandidat yang sesuai dengan kriteria merupakan
tantangan tersendiri. Kandidat untuk lowongan berkerah biru oversupply, sedangkan kandidat untuk
lowongan berkerah putih undersupply

Kontras
dengan AS yang sedang mengalami masa recovery
dari resesi, lowongan kerah putih dan biru sama-sama oversupply. Kelimpahan ini uniknya tidak segera memacu penurunan
angka pengangguran, malah terjadi “jobless recovery.” Dua pertiga dari
perusahaan manufaktur di AS melaporkan mengalami kesulitan mendapatkan pekerja
yang qualified.

Dalam
fase recovery ini, para pekerja yang
di-PHK ketika masa-masa gawat 2008 dan 2009, belum semua digantikan. Perusahaan
juga belum merasakan perlu untuk menambah pekerja, mengingat produktivitas dari
mereka yang tidak di-PHK naik cukup tinggi, yaitu 7% lebih baik daripada
sebelum resesi. Dengan output produksi tiap pekerja yang naik tersebut,
perusahaan relatif mempunyai SDM yang cukup dalam menangani permintaan konsumen
yang sedikit menanjak.

Di
AS sendiri, penambahan populasi bertambah 140,000 orang setiap bulan. Dalam
situasi ekonomi “normal,” lowongan kerja cukup untuk menampung penambahan
populasi. Bandingkan dengan Indonesia yang tiap bulan mengalami kenaikan jumlah
pekerja sekitar 290,000 orang.

Kurangnya
daya serap pasar serta ketimpangan akan kebutuhan keahlian dan ketrampilan yang
terjadi bertahun-tahun cukup mengganggu penyerapan kesempatan bisnis bagi
perusahaan. Dalam prakteknya, ini menimbulkan beberapa problematika.

Pertama,
diskriminasi berdasarkan berbagai kriteria fisik semakin merajalela. Seven-Eleven
dan berbagai bisnis retail, misalnya, meminimalkan tinggi pegawai konter 165
cm. Ini menurunkan kesempatan kerja bagi mereka yang berpotensi baik namun mempunyai
“ukuran fisik” yang kurang. Dan mereka terus perlu bersaing dengan ratusan juta
orang berpendidikan SLTA bahkan kurang. 

Kedua,
sejumlah perusahaan manufaktur yang mengalami kesulitan memutar cash flow dengan UMR Jakarta IDR 2.2
juta, semakin mengurangi jumlah pekerja maupun membuat perjanjian freelancing daripada full-time.

Ketiga,
pasar untuk lulusan sarjana dari universitas luar negeri dan elit semakin
terbuka luas. Namun tantangan bagi pencari kerja lulusan sarjana pun masih
cukup besar, mengingat seringkali kemampuan akademik bukan merupakan cerminan
akan ketrampilan.

Keempat,
dengan 53% penduduk Indonesia tinggal di daerah urban, bisa dibayangkan overcrowded-nya dan stres yang
ditimbulkan terhadap ekologi. Dari waste
management
yang kurang baik saja menumpukkan sampah yang luar biasa tinggi
jumlahnya. Mereka yang memilih untuk tinggal di daerah urban, belum tentu
terserap di dalam lapangan kerja penuh waktu. Ini menjadi masalah SDM
tersendiri.

Kelima,
mereka yang tidak terserap dalam lapangan kerja menjadi “drifter” alias “orang-orang jalanan” yang pindah dari satu tempat
ke tempat lain tanpa rumah tetap. Ini menjadi potensi kriminalitas yang sangat
bisa mengganggu kelancaran berbisnis. Belum lagi potensi “mengganggu kelancaran
produksi” apabila mereka yang bermental “drifter” tidak dibina dengan sebaik
mungkin dengan gemblengan militan.

Keenam,
pendataan pekerja belum dilakukan dengan sistem registry alias database
nasional. Di negara-negara lain, seperti AS dan Commonwealth Inggris, setiap
warga negara mempunyai nomor wajib pajak yang bisa diakses oleh
perusahaan-perusahaan sebagai metode cek dan ricek seorang pekerja. Selain
jumlah pajak yang dibayarkan, bisa dicek di perusahaan apa saja seseorang
pernah bekerja. Ini membangun rasa aman dan kepercayaan dalam bertransaksi. 

Skills
gap adalah PR bagi pembuat kebijakan, pengusaha dan setiap warga. Pendidikan
dan pelatihan bukan hanya tugas pemerintah, namun tugas kita semua.[]

KONTAN Weekly, 11-17 Februari 2013

Pin It on Pinterest

Share This