Select Page
selasar_economy_bigshoe_sinarharapan450

Kredit Foto: Sinar Harapan

logo selasar

[Baca langsung di Selasar.com.]

oleh Jennie M. Xue

Winston Churchill berkata bahwa kapitalisme adalah bentuk pemerintahan terburuk, namun tidak ada lagi yang lebih baik. Democracy is the worst form of government, except for all the others. Para ekonom pun berlomba-lomba untuk mencari bentuk-bentuk yang lebih “baik”, namun tampaknya memang kapitalisme masih lebih baik daripada yang lain, mengingat prinsip kebebasan dan optimasi kemampuan diri yang diberi tempat sepantasnya.

Mengingat berbagai kekacauan yang dialami oleh negara-negara kapitalis beberapa tahun terakhir ini, terutama yang tergabung dalam Uni Eropa dan Amerika Serikat, mazhab kapitalisme neoliberal sudah waktunya untuk direvisi agar “efek samping”-nya yaitu inekualitas bisa diperkecil hingga angka koefisien GINI mendekati nol. Singkatnya, ada enam alternatif kapitalisme modern, yaitu yang berkiblat ke kapitalisme ala Amerika Serikat, ala Jerman, ala Singapura, ala Swedia, ala Denmark, dan ala Korea.

Keenamnya memiliki persentase yang berbeda dalam lima variabel penentu, yaitu: welfare budget (anggaran kesejahteraan rakyat), persentase PDB (Pendapatan Domestik Bruto), persentase buruh yang berserikat, penerapan pajak pendapatan, dan kontrol terhadap industri keuangan. Lima variabel ini semestinya dapat dijadikan “tombol” yang bisa digeser-geser untuk mencapai “ukuran yang pas” dalam melakukan optimalisasi kapitalisme di suatu negara. Ini juga berlaku untuk Indonesia.

1. Welfare Budget

Berapa anggaran negara untuk welfare (kesejahteraan), seperti benefit bagi para pekerja yang di-PHK (unemployment benefit), pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, dan layanan-layanan publik lainnya sangat menentukan kesejahteraan dan kesehatan lahir batin anggota masyarakat.

2. Kontribusi Perusahaan-Perusahaan Milik Negara Terhadap PDB

Di AS, hanya 10 persen, sedangkan di Singapura 22 persen. Logikanya, perusahaan-perusahaan negara membawa stabilitas relatif bagi pasar dan mempekerjakan warga negara yang berketrampilan baik sehingga membantu menurunkan angka pengangguran. Strategi serupa “tapi tidak sama” telah lama dipakai sebagai penyeimbang dalam pembangunan ekonomi. Sejak Presiden AS Franklin D. Roosevelt mengambil alih administrasi di tahun 1933, ia menggunakan tangan pemerintah dalam membangun Negara Paman Sam kembali pasca Great Depression. Di Tiongkok beberapa tahun terakhir ini, ketikaeconomic growth telah mulai menukik, pemerintah mengambil alih pembangunan dengan membangun berbagai prasarana and properti publik.

3. Jumlah Buruh yang Tergabung Dalam Serikat Buruh

Kebijakan perusahaan yang dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pro-buruh memberikan kesempatan besar bagi para pekerja untuk mendapatkan upah sesuai standar hidup (living wage), bukan hanya upah minimum (minimum wage). Ujungnya, secara makro memperkecil kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Di Korea Selatan, bahkan gaji seorang CEO dibatasi sehingga inekualitas tidak terjadi sebesar di AS.

Contohnya, salah satu kota di AS yang paling progresif dalam penerapan living wage adalah Seattle di Washington dengan USD 15 per jam upah minimum. Bandingkan dengan di San Francisco yang hanya USD 11 dan Los Angeles sebesar USD 10 saja terhitung 2017 (dua tahun lagi). Di negara bagian Georgia, upah minimum hanya USD 5,15 hampir sepertiga di Seattle.

4. Penerapan Pajak Pendapatan dalam Braket yang Tepat.

Braket setiap negara tidak sama untuk penghasilan yang sama. Di Singapura misalnya, untuk penghasilan beberapa tahun pertama investor asing dikenai pajak penghasilan 7,5 persen untuk minimal SGD 200.000. Setelahnya, dikenai 15 persen secara merata terlepas dari jumlah penghasilan. Sedangkan di AS, semakin tinggi penghasilan semakin besar pajak yang dibayar. Penghasilan di atas USD 413.000 dikenai hampir 40 persen pajak penghasilan.

Penerapan braket bertingkat berdasarkan besar penghasilan bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan. Di AS, mereka dengan penghasilan rendah melaporkan penghasilan mereka yang minim setiap tahun tanpa ragu. Alasannya, kemungkinan besar mereka mendapatkan “tax return” alias mendapatkan “uang kembali,” bukan “mengeluarkan” uang untuk pajak. Di sinilah terjadi redistribusi kekayaan. Contoh negara yang berhasil meredistribusikan pajak adalah Jerman dan Korea Selatan. Koefisien GINI di Jerman sebelum redistribusi adalah 0,51 dan sesudahnya adalah 0,29. Korea Selatan dikenal sebagai negara Asia paling berhasil dengan koefisien GINI 0,34.

5. Kontrol Terhadap Industri Keuangan (finance industry) Secara Ketat Dengan Berbagai Regulasi

Dodd-Frank Act di AS merupakan reaksi dari Great Recession 2008, sehingga kini ada ribuan halaman regulasi produk-produk keuangan. Argumen bahwa regulasi berlebihan dapat mengerdilkan pertumbuhan ekonomi adalah tidak sahih. Buktinya, di antara tahun 1955 dan 1980 ketika regulasi masih mencengkeram kapitalisme, PDB dunia tumbuh 2,6 persen. Dalam 30 tahun terakhir di mana kapitalisme neoliberal telah menjadi “norma,” ternyata pertumbuhan hanya 1,3 persen. Di antara tahun 1958 dan 1982 pemerintah Jepang, Korea, dan Taiwan meregulasi secara ketat ekonomi mereka dan ternyata bekerja dengan sangat baik. Pertumbuhan ekonomi mereka melesat tinggi. Selain, itu, Finlandia mempunyaiwelfare budget 3 kali lipat AS, namun pertumbuhan PDB per kapita mencapai 2,7 persen dalam 40 tahun terakhir sedangkan AS hanya 2 persen.

Kuncinya adalah tersedianya program-program pelatihan kerja yang berkualitas tinggi dan mengikuti tuntutan dunia kerja dengan ketrampilan-ketrampilan terapan. Mayoritas penduduk bukanlah “the ruling class,” sehingga pendidikan ketrampilan yang dibutuhkan bersifat kongkrit, bukan yang bersifat elit menara gading para akademisi. Secara psikologis, ketika seseorang merasa aman bahwa ketrampilannya memadai untuk bertahan hidup dengan pekerjaan yang layak, maka mereka lebih berani mengambil resiko dengan berbelanja dan mencoba hal-hal baru. Ini menggerakkan roda ekonomi.

6. Industri Keuangan Perlu Dikontrol Dengan Ketat

Sebagai tambahan, hal ini dilakukan agar keuntungan mempunyai cukup waktu untuk diinvestasikan kembali secara produktif. Di tahun 1960an Inggris Raya, setiap saham yang dimiliki seseorang harus dipegang selama minimal 5 tahun. Sekarang, hanya 7 bulan. Di antara tahun 1950 dan 1970, sebesar 65 persen keuntungan diinvestasikan kembali, sedangkan sekarang mayoritas keuntungan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen sehingga hanya 6 persen yang diinvestasikan kembali.Di negara-negara Skandinavia yang ketat regulasinya, dana dipegang dalam bentuksovereign wealth funds, pension funds, dan long-term investment lainnya. Merger dan akuisisi diminimalkan dengan regulasi ketat pula, mengingat dua hal ini mengganggu investasi jangka panjang yang stabil.

Sebagai penutup, kapitalisme tidak perlu ditakuti. Kuncinya adalah peta biru pertumbuhan dan regulasi ekonomi yang jelas dan kesungguhan dalam implementasinya. Inilah tantangan bagi Indonesia pada Era Jokowi-JK.[]

Selasar.com, 3 Februari 2015

 

Pin It on Pinterest

Share This