[Read directly on / Baca langsung di Prisma Indonesia.com]
oleh Jennie M. Xue
“Feminisme” sebagai terminologi, konsep, filosofi, dan gaya hidup sering kali disalahartikan. Berbagai miskonsepsi tentang “feminisme” dan “seorang feminis” masih kerap dijumpai dalam masyarakat.
Perspektif “feminisme” yang dipakai oleh masyarakat umum sering kali telah kedaluwarsa, seakan-akan para feminis adalah “pembenci laki-laki” dan peminta hak kesetaraan secara “kasar.” Padahal, feminisme sebagai “gerakan” telah melampaui beberapa gelombang dan yang diperjuangkan pun telah jauh bergeser.
Masih ada satu lagi “mitos” yang menjadi penghalang kesetaraan yang lebih fair dan sinergistik antar-gender, yaitu “mitos kecantikan.”
Akar dari gerakan feminisme dimulai di Yunani Kuno oleh Sappho (wafat 570 SM) dan di Zaman Pertengahan dengan Hildegard of Bingen (wafat September 1179) dan Christine de Pisan (wafat 1434). Sedangkan Olympes de Gouge (wafat 1791), Mary Wollstonecraft (wafat 1797), dan Jane Austen (wafat 1817) adalah para Ibu Feminisme Modern. Perjuangan mereka mencakup advokasi martabat perempuan, pengakuan intelektual, dan pengembangan potensi perempuan sebagai individu.
Terhitung sejak abad ke-19, gerakan kesetaraan perempuan berevolusi menjadi gerakan kesadaran diri yang teridentifikasi dengan jelas. Kini, kita telah berada di dalam gelombang keempat feminisme.
Gelombang pertama (1848-1920) disebut suffrage period dengan “hak memilih” (right to vote) sebagai bentuk partisipasi dalam demokrasi. Gerakan itu dimulai dengan The Seneca Falls Convention yang dipimpin Elizabeth Cady Stanton pada 1848, di mana 300 perempuan dan laki-laki melakukan rally untuk ekualitas.
Bentuk-bentuk “kultus domestikasi” yang memberangus kebebasan berpendapat di hadapan publik dihapuskan dan partisipasi politik ditingkatkan. Garis-garis “kasar” yang berbentuk argumen “superioritas” perempuan dalam hal moralitas masih tampak dalam era ini. Selanjutnya, “garis-garis kasar” semakin diperhalus dalam gelombang-gelombang feminisme berikutnya.
Gelombang kedua (1960-1988) merupakan era perjuangan kesetaraan akses untuk menembus beberapa “wilayah” yang dibatasi bagi perempuan. Era itu juga merupakan masa perjuangan membebaskan perempuan-perempuan minoritas yang teridentifikasi sebagai lesbian, non-Kaukasia, memerlukan kebutuhan khusus, dan lainnya agar mempunyai kedudukan sama secara hukum dan mendapatkan kesempatan yang sama.
Gelombang ketiga (1988-2010) merupakan era “peremajaan” konsep feminisme itu sendiri, di mana “feminisme” dipandang sebagai suatu spektrum dalam paradigma post-colonial dan post-modernism. Feminisme “garis keras” bukanlah satu-satunya definisi yang sahih.
Seorang perempuan bisa menjadi apa saja dalam berbagai permutasinya tanpa perlu mengikuti “garis keras nan kaku” sebagai “feminis sejati.” Tidak perlu lagi istilah “kami” (perempuan) dan “mereka” (laki-laki). Realitas bukan berada dalam konteks “kekuasaan” gender dan “struktur” yang kaku, namun dalam kerangka meritokrasi dan pilihan-pilhan bebas.
Gelombang keempat yang sekarang kita jalani merupakan pengembangan dari gelombang ketiga, di mana para perempuan dan masyarakat pada umumnya mempunyai akses teknologi dan sophistication mengenai gender. Gelombang keempat mengakui kilauan warna-warni pelangi spektrum kemanusiaan dan keperempuanan yang mempunyai kebebasan dalam memilih preferensi-preferensi spiritualitas. “Feminisme” di sini merupakan kualitas spiritualitas seseorang yang tercermin dari butir-butir kebesaran hati dan jiwa.
Dengan kata lain, gelombang keempat merupakan “era pembebasan” feminisme sehingga tidak perlu lagi dikotak-kotakkan dalam kategorisasi. Kini permutasi keperempuanan merupakan pembebasan diwarnai oleh informasi tanpa batas dengan velositas peningkatan paradigma yang eksponensial. Sinergi antar-gender untuk kepentingan kemanusiaan universal lebih diprioritaskan.
Berada di Gelombang Keempat yang jauh lebih “dewasa” daripada beberapa gelombang sebelumnya bukan berarti permasalahan yang dihadapi telah tiada. Memang benar perempuan telah ikut aktif dalam berbagai aktivitas yang sebelumnya dipandang “tabu” dan memiliki hak-hak sipil (civic rights) yang jelas, terutama di negara-negara sekuler. Namun, kehidupan seorang perempuan masih jauh dari kebebasan karena adanya fakta “belenggu patriarki.”
Secara kultur, yang termasuk berbagai dogma religi dan aturan-aturan hukum yang berat sebelah, perempuan masih merupakan “warga negara kelas dua” yang dibelenggu oleh “sangkar kaca.” Faktor “kenyamanan” eksistensi seorang perempuan masih belum optimal.
Misogini (misogyny) dan seksisme (sexism) masih membelenggu perempuan secara langsung dan tidak langsung. Misogini adalah prasangka negatif terhadap perempuan, seperti generalisasi derogatori bahwa “perempuan membawa malapetaka” dan “perempuan mengundang dosa.” Bahkan, salah satu institusi agama besar di dunia masih memperpetuasikan paradigma buruk ini dalam gaya hidup arkaik.
Seksisme sedikit lebih “lembut” daripada misogini, di mana perempuan dipandang dalam perspektif tertentu yang membatasi (tidak membebaskan). Pelekatan fungsi-fungsi tertentu terhadap perempuan serta batasan-batasan “division of labor” dan “what a woman should do” mengungkung perempuan secara fisik, intelektual, dan afektif.
Dalam Symposium, Plato berkata, “Perempuan sudah lama menderita karena kecantikan mereka.” Mitos kecantikan alias “penilaian” terhadap perempuan dari segi fisik belaka merupakan bentuk seksisme (dan misogini) yang telah diterima umum, seakan-akan nilai seorang perempuan hanya dinilai dari sudut fisik belaka dan “kecantikan kepribadian” dalam kerangka patriarki.
Usia, paras, dan pakaian masih sering dijadikan ukuran “keperempuanan” secara fisik. Sedangkan “kepatuhan terhadap laki-laki” dan “pengorbanan untuk keluarga” dijadikan ukuran “keperempuanan” secara internal. “Cantik dan patuh” merupakan karakteristik perempuan yang dicari oleh banyak laki-laki. Hal ini terjadi tidak hanya di belahan bumi timur, namun juga di belahan barat yang notabene dipandang lebih “maju” dan “liberal.”
Dalam The Beauty Myth (Harper Collins, 2002), Naomi Wolf menulis bahwa “mitos kecantikan” merupakan “the last remaining of the old ideologies” yang masih mempunyai kekuasaan untuk mengontrol perempuan. Padahal, dalam Gelombang Kedua, berbagai terobosan telah berhasil dicapai.
Fakta bahwa dunia masih berkerangka patriarki harus kita akui. Keberadaan perempuan sebagai “pelengkap” belaka merupakan nosi yang perlu dikikis. Eksploitasi keberadaan perempuan dengan perpetuasi mitos “kecantikan” perlu disadari sebagai tahap awal partisipasi politik dan kultural yang lebih fair, saling peka terhadap kebutuhan kedua gender, dan sinergistik.[]
Prisma Indonesia, 6 Januari 2015