Select Page

Kontan 

Download KONTAN Daily Empat Dosa Mediokritas

oleh Jennie M. Xue

Menurut Seth Godin, penulis besar yang namanya dilambungkan oleh Internet dengan buku pertamanya Idea Virus, mengemukakan empat dosa besar mediokritas. Mediokritas sendiri berarti “menjadi yang biasa-biasa saja” alias “tidak terlalu istimewa.” Mediokritas merupakan antitesis dari superioritas. Menjadi “medioker” artinya tidak menonjol dan menjadi latar belakang mereka yang superior. 

Apa saja? Menyangkal, merasa tidak berdaya, merasa tidak dibayar cukup, dan takut akan resiko.

Ketika seorang pebisnis atau eksekutif merasa bahwa apa yang dikerjakan dibatasi oleh keputusan-keputusan orang lain, maka rasa “kepemilikan” alias ownership semakin menipis. Penipisan rasa kepemilikan akan suatu proyek, pekerjaan, posisi, maupun unit bisnis menurunkan semangat berinovasi. 

Keadaan psikologis seseorang perlu untuk dipahami, apalagi yang berhubungan dengan rasa kepemilikan. Karena ini berhubungan antara rasa kekompakan “internal” dan “eksternal.” Kekompakan kita dengan diri kita sendiri antara pikiran dan perasaan tentu mempunyai makna yang penting untuk kesuksesan suatu proyek. Kekompakan kita dengan berbagai stakeholders juga penting untuk keberhasilan proyek dan bisnis. 

Bagaimana bisa berinovasi ketika merasa tidak perlu untuk berbuat yang terbaik? Mustahil, bukan? Semua berawal dari niat yang merupakan pikiran dan pikiran ini perlu diinternalisasikan dan direalisasikan. Dan ini memerlukan “masa tenang” sebagai fase recharging.

Ketika merasa bahwa yang kita lakukan “tidak akan membawa hasil apapun” sesungguhnya merupakan blokade terhadap kemajuan secara mental. Untuk memulai apapun diperlukan kesadaran mental untuk berkarya dan berinovasi secara efektif. Dengan kata lain, kita perlu mempunyai kesadaran bahwa kemajuan hanya bisa dicapai dengan langkah pertama yang berani.

Ingat ketika Jokowi-Ahok belum memegang tampuk kepemimpinan Jakarta? Mungkin Anda sendiri termasuk yang beranggapan bahwa “masalah di Jakarta tidak akan bisa teratasi oleh gubernur manapun.” Nyatanya, satu demi satu masalah di Jakarta mulai teratasi, mulai dari sampah hingga banjir. Kuncinya adalah satu: Berani memulai.

“Merasa tidak dibayar cukup” kebanyakan melanda para eksekutif, walaupun ada juga pebisnis yang merasa bahwa omzetnya terlalu rendah, maka diperlukan terobosan-terobosan baru. Baik untuk meningkatkan omzet maupun untuk meningkatkan profit. Ini bisa jadi merupakan dorongan positif dalam mengejar target. 

Jika para eksekutif merasa “tidak dibayar cukup” untuk suatu tugas, maka ia cenderung untuk mencari pekerjaan yang dibayar lebih tinggi atau bernegosiasi agar gajinya dinaikkan. Sebelum ia dibayar “cukup” sesuai dengan standarnya, ia merasa gundah dan gelisah. Ini sudah cukup mengganggu performance.

Bagi pebisnis, “merasa tidak dibayar cukup” mungkin lebih menguntungkan karena semestinya memicu semangat berinovasi dan mencari kesempatan-kesempatan baru. Namun selama “belum merasa cukup” kemungkinan akan ada proses pencarian yang memakan waktu dan energi. 

Faktor keempat adalah yang paling “fatal” karena berhubungan dengan rasa takut akan resiko. Padahal, setiap bagian kehidupan termasuk dalam berbisnis dan berkarya di masyarakat pasti ada resikonya. Walaupun terminologi “resiko” sesungguhnya mengacu kepada hal-hal negatif, ada juga “resiko” yang tidak negatif alias hanya bersifat negatif apabila tidak dikerjakan. 

Opportunity cost, misalnya, merupakan “resiko” yang kemungkinan besar bisa dialami apabila suatu keputusan tidak dijalankan. Maka idealnya seorang pebisnis memiliki kemampuan untuk “menelan” resiko yang besar. Ini berarti mental yang kuat ketika perlu mengalami masalah apapun. 

Akhir kata, mediokritas bisa diatasi dengan berbagai kesadaran dan implementasi dari empat hal. 

Satu, milikilah pekerjaanmu. Own your job. Own your success. Own your mistake.  Dua, berdaya dan merasa mampu dalam bertindak karena memang tidak ada yang tidak mampu dilakukan sepanjang berada di dalam limitasi yang jelas. Tiga, menerima cukup penghargaan finansial alias “tidak merugi.” Empat, berani melangkah walaupun jalan setapak di muka kita masih berkabut.[]

KONTAN Daily, Jumat 28 Februari 2014

Pin It on Pinterest

Share This