Select Page

city-skyline-seattle700x470

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN Weekly Ekosistem Startup AS]

oleh Jennie M. Xue

Beberapa tahun lalu, mayoritas startup inovatif berneksus di Silicon Valley (SV). Hingga kini, ia masih menjadi favorit perusahaan-perusahaan teknologi internasional seperti Google, Apple, Western Digital, Marvel Technology, dan Applied Materials, termasuk yang kantor pusatnya berada di luar AS seperti Lenovo, Huawei, dan Samsung Semiconducor.

Bisa dimaklumi startup-startup canggih yang didirikan oleh si jenius Elon Musk seperti mobil listrik Tesla, pembangkit listrik tenaga matahari SolarCity, dan tablet transportasi futuristik ultracepat Hyperloop masih berlokasi di pusat inovasi teknologi California Utara tersebut. Demikian pula startup-startup yang didanai oleh private equity dan berskala kecil dan menengah.

Sumber daya intelektual lulusan Stanford dan UC Berkeley, serta lokasi strategis SV yang sangat dekat dengan kota kultural paling liberal se-AS San Francisco merupakan daya tarik utama. Kabar terkini, SV bukan lagi satu-satunya pusat teknologi AS. Mengapa? Apa yang bisa kita pelajari dari langkah ini?

Cukup banyak para entrepreneur teknologi membidik kota-kota di luar California, seperti Austin di Texas, Raleigh-Durham, Las Vegas, Kansas City, dan New York. Bahkan Detroit yang pernah bangkrut kini pun bangkit kembali dengan peremajaan citra dan insentif bagi bisnis-bisnis baru. Harga properti yang rendah pun merupakan “insentif” bagi startup yang “berani” mendirikan kantor pusat di sana.

Detroit kini menjadi lokasi kantor pusat Stik, yaitu aplikasi rekomendasi berbasis media sosial, setelah pindah dari San Francisco. Detroit termasuk rendah biaya operasi, setelah bertahun-tahun merosot kegiatan ekonominya. Dengan suplai para teknokrat berpendidikan teknik komputer di University of Michigan dan Michigan State University, kota ini menjadi pilihan startup berkapital awal minim.

Groupon, misalnya, dilahirkan dan tumbuh besar di Chicago, bukan di SV. Namun SV tetap mendominasi venture capital deals yang mencakup 46 persen dari transaksi nasional yang mencapai USD 2,6 miliar.

Tampaknya “keseksian” startup di SV masih lebih molek daripada di lokasi lain, namun ini tampaknya semakin bergeser tergantung tingkat kesuksesan. Terbukti dari inkubator-inkubator startup di berbagai belahan dunia dan AS masih memandang SV sebagai “Hollywood”-nya dunia teknologi.

Namun sesungguhnya ekosistem seperti di SV bisa dibangun di kota apapun yang setara sumber daya manusianya. Termasuk di Indonesia, apabila memadai. Chennai di India mungkin sudah mendekati SV dalam konteks negara berkembang Asia. Dan Singapura merupakan benchmark yang paling anggun.

Agresifnya pebisnis dan teknokrat SV dengan turnover ide yang super cepat belum bisa tertandingi. Kultur “secepat kilat” dan “grow fast, fail fast” tampak umum di SV, namun di kota-kota Midwest seperti Kansas City dan Chicgo, masih cukup langka. Dan bagi para pemain startup kecil tampaknya relatif sulit untuk menonjolkan diri di sana.

Fakta bahwa kegagalan sama sekali tidak tabu di SV merupakan salah satu motor yang melontarkan para pendiri startup gagal untuk kembali bangkit dengan semangat dan model bisnis baru. Semangat SV ini perlu diekspor dan ditanamkan di dalam ekosistem-ekosistem tandingan sehingga sukses bisa lebih merata di tingkat nasional dan internasional.

Kultur agresif SV memberikan kesempatan networking yang lebih besar daripada dalam kultur Midwest. Namun ini semestinya bisa diatasi dengan support system memadai, selain SDM prima. Kansas City kini mempunyai julukan “Silicon Prairie” dan New York City berjulukan “Silicon Alley.”

Startup America Partnership (SUAP) bekerja sama dengan inisiatif-inisiatif Obama memberikan kesempatan untuk membentuk ekosistem startup secara nasional. Yang dimaksud dengan “ekosistem” di sini adalah lingkungan yang non-judgemental untuk belajar bisnis bersama dengan mempelajari pengalaman-pengalaman para senior di bidangnya.

Ekosistem bisnis merupakan jaringan penghubung para pendiri berpengalaman sebagai “mentor” dengan para pendiri pemula, para investor, SDM berkualitas, dan customer potensial. Tujuan ekosistem ini adalah membangun kultur yang terdiri dari para inovator dengan ide-ide jenial inovatif dan kreatif.

Entrepreneurship alias “kewirausahaan” merupakan kunci pertumbuhan ekonomi suatu negara dan wilayah. Dan ekosistem yang memberikan rasa “aman” untuk bertumbuh merupakan kunci keberhasilan jangka panjang. Ketika para kompetitor bersinergi, inovasi baru membawa kesempatan-kesempatan baru.[]

KONTAN Weekly, 24-30 Agustus 2015

Pin It on Pinterest

Share This