KONTAN Weekly Ekonomi Massa buat Kebaikan
by Jennie M. Xue
“Mass movement for goodness economy” alias “ekonomi berbasis gerakan massa untuk kebaikan” sudah menjadi kebutuhan di abad ini. Terminologi ini sedang dipopulerkan oleh Steven Overman pemikir bisnis dan penulis The Conscience Economy: How a Mass Movement for Good is Great for Business.
Sumber daya alam yang non-renewable telah diprediksikan akan habis dalam beberapa puluh atau bahkan belasan tahun lagi. Kesadaran Generasi Milenial akan situasi genting ini jauh lebih tinggi daripada beberapa generasi sebelumnya. Mereka telah mengadopsi conscientious economy sejak pertama kali menggunakan Internet di bangku SD atau bahkan TK.
Waktu tinggal sedikit. Perlu gerak cepat. Ini merupakan peluang bagi para pebisnis dunia. Sudah bukan zamannya lagi mengeruk sumber daya alam besar-besaran dan mempekerjakan buruh tanpa berpikir panjang. Keadaan manusia dalam 20, 40, 60, bahkan 100 tahun di muka berada di tangan para pelaku bisnis di detik ini.
Social entrepreneur alias wirausahawan/wati sosial perlu dijadikan terminologi yang generik. Bahkan, terminologi “entrepreneur” dan “wirausahawan/wati” atau “pebisnis” sudah saatnya mengadopsi unsur-unsur social entrepreneurship yang peduli lingkungan, peduli HAM, peduli kesehatan jangka panjang, peduli keadilan ekonomi dan fair financial practices, dan peduli akan keselamatan masa depan umat manusia dan kemanusiaan. Sudah bukan zamannya lagi berbangga hati menjadi produsen mineral.
Perhatikanlah para produsen minyak bumi seperti BP dan Shell telah mengintegrasikan produk-produk yang berasal dari renewable resources. Berbagai bentuk riset biofuel telah dijalankan dalam mengantisipasi kemerosotan produksi minyak fosil.
Terjadi pergeseran masif dalam proses menuju peradaban manusia yang bersifat planetary, sebagaimana dikemukakan oleh pemikir terkemuka Prof. Michio Kaku yang mengajar Theoretical Physics di CUNY dan penulis beberapa buku best-seller termasuk The Future of Mind. Dalam perjalanan ini, diperlukan kesadaran setiap umat manusia untuk bergerak bersama untuk kebaikan seluruh umat manusia.
Di Indonesia, berbagai konflik sektarian dan lokal masih mewarnai keseharian. Namun, dengan menyadari bahwa kepentingan utama kita sesungguhnya adalah kesejahteraan bersama, para pemimpin di berbagai tingkatan sudah selayaknya bergerak dalam ekonomi berbasis kebaikan bersama. Dengan presiden baru kita, semoga ini bisa cepat terlaksana.
Kebijakan publik di berbagai negara maju telah lama mengadopsi visi ini, terlepas dari berhasil atau tidaknya. Di Indonesia, ini bisa dimulai dengan membenahi kurikulum sekolah sehingga lebih menempatkan setiap individu sebagai caretaker, bukan sebagai konsumen atau pekerja.
Kultur korporasi dunia juga semakin jelas ke arah yang lebih dewasa. Perhatikan para raksasa global seperti Google, Apple, Facebook, dan Microsoft. Dengan individu pendiri yang filantropis berkelas miliarder USD, mereka memberikan teladan bahwa dunia IT bervisi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dengan efisiensi dan produktivitas berskalabilitas tinggi.
Mantan CEO Unilever Niall Fitzgerald pernah menulis laporan berjudul The Role of Business in Society bahwa setiap bisnis mempunyai tantangan dalam mengatasi masalah-masalah sosial dan lingkungan yang berasal dari globalisasi. Ini perlu dijalankan dengan aktivitas-aktivitas filantropis dan kapasitas inovatif dan kreatif dalam solusi-solusi bisnis. Jadi, kegiatan-kegiatan CSR sekali-kali baik, namun lebih lagi apabila produk-produk suatu bisnis secara inheren memberikan solusi bagi dunia.
Komputer tablet, misalnya, memberikan alternatif untuk membaca laporan dan buku tanpa perlu dalam bentuk kertas. Berbagai aplikasi peningkat produktivitas memberikan solusi bagi semakin “berkurangnya” waktu dalam kehidupan berderap cepat modern. Sampo, sabun mandi, dan deterjen sudah saatnya sepenuhnya biodegradable dan limbahnya aman bagi semua makhluk hidup, misalnya. Mainan anak-anak sudah saatnya tidak menyebabkan alergi respiratori dan kulit, misalnya.
Interdependensi global semakin terasa dengan pertukaran produk dan jasa dalam sekejap baik secara digital maupun analog. Dan ini semakin membuka kesempatan bagi bisnis untuk memberikan efek secara langsung dan cepat. Perhatikan berbagai video klip iklan yang disebarkan online yang memberikan nilai tambah bagi para pemirsanya.
Tren terbaru adalah iklan-iklan bernafas sosial dengan berfokuskan kebaikan bersama, bukan akan suatu merek tertentu. Iklan deterjen, misalnya, berbicara banyak tentang aktivitas anak-anak di seluruh dunia. Iklan sampo, misalnya, berbicara banyak tentang prestasi musik seorang remaja. Ini adalah contoh nyata pergerakan ekonomi yang semakin sadar akan nilai-nilai kebaikan.
Tentu topik ini tidak cukup untuk dibahas dalam satu artikel pendek. Intinya, kesadaran sosial setiap individu semakin tinggi, sehingga baik konsumen maupun produsen dan pebisnis intermediari semakin peka akan pentingnya masa depan manusia yang semakin non-sektarian dan cinta ekologi. Karena kita hanya punya satu planet dan satu spesies manusia.[]
KONTAN Weekly, 1-7 September 2014