oleh Jennie M. Xue
Era Digital saat ini telah mengubah berbagai sistem yang menjalankan roda peradaban dan kemanusiaan. Termasuk dalam beraktivitas sehari-hari, berbisnis, bersosial, dan berpolitik. Efisiensi dan substitusi sebagai fitur utama digitalisasi teknologi dan perangkat kerja membawa berbagai efek positif dan negatif dalam segi ekonomi.
Don Tapscott dalam bukunya yang menggemparkan dua dekade lampau (terbit 1995) berjudul The Digital Economy kini telah direvisi. Demikian pula cara pandang kita terhadap dunia dan ekonomi digital terkini.
Kita sudah semakin terbiasa dengan berbagai jaringan di dunia maya yang mengkomplemen dunia nyata. Termasuk perangkat-perangkat super cerdas seperti smartphone dan tablet computer serta jam tangan bermikrocip seperti iWatch. Sesekali kita mengingat kembali seperti apa dunia tanpa gadget-gadget tersebut. Kok bisa?
Tapscott dengan cerdas berargumen bahwa sebenarnya kita telah melampaui Era Informasi. Kini adalah Era Kecerdasan Jaringan (Networked Intelligence). Ini tentu membuka pasar seluas mungkin. Dan kesatuan planet bumi sebagai pasar tunggal dengan berbagai keunikan per ceruk semakin jelas.
Profesor Astrofisika Michio Kaku salah satu pencetus The String Theory bersama dengan Stephen Hawking pernah berujar bahwa kini umat manusia masih belum mencapai Tingkat Pertama peradaban. Di Tingkat Pertama, sumber daya yang digunakan bersifat renewable dan planet bumi berswadaya secara daur ulang.
Prof Kaku optimis karena sistem telephony global yang menjangkau seluruh planet telah dimungkinkan dengan Internet sehingga berbagai kesempatan juga semakin baik. Tantangannya adalah bagaimana agar pertumbuhan ekonomi disertai dengan pertumbuhan tenaga kerja yang diserap oleh pasar.
Faktanya, pertama kali dalam sejarah manusia, pertumbuhan ekonomi tidak disertai dengan bertambahnya pekerjaan yang tersedia. Siapa yang menguasai teknologi mempunyai kemampuan untuk menggandakan kekuatan tenaga kerja manusia sehingga produktivitas dan output tidak lagi mengandalkan padat karya.
Misalnya, teknologi 3D printing telah menggantikan para pembuat model industri manual. Watson computer yang dikembangkan oleh IBM mampu mendiagnosis kanker dengan lebih tepat dan cepat dibandingkan dengan para teknisi laboratorium.
Konglomerat digital seperti Google dan Cisco telah merambah ke berbagai industri yang sebelumnya tidak terbayangkan. Misalnya, Google glass yang memungkinkan pemakai untuk menterjemahkan tulisan-tulisan yang terekam oleh lensa kacamatanya. Satu contoh lagi, Cisco dikenal dengan aplikasi-aplikasi yang khusus dipakai oleh para pengawas lalu-lintas Internet suatu negara.
Jutaan ide yang dapat dikembangkan melalui open source dan creative commons semestinya juga memberikan kesempatan yang sama bagi para pekerja TI dan kreatif. Kekuatan K-Pop yang berasal dari kesadaran akan pentingnya membangun konten yang atraktif dan berdaya saing global bisa dijadikan benchmark bagi model bisnis Indonesia.
Income inequality merupakan topik yang paling panas dibicarakan di World Economic Forum di Davos, Swiss. Dan ini merupakan akibat langsung dari dahsyatnya ekonomi digital. Yang menguasai teknologi adalah pemenang dalam “perang antar kelas ekonomi” global.
Ekonom Perancis Thomas Piketty berargumen bahwa penggerak ekonomi yang berkesenjangan besar adalah return on capital yang melampaui pertumbuhan ekonomi sehingga nilai-nilai demokratis tergeser. Sedangkan Al Gore mengkonfirmasi kebenaran Gerakan Occupy Wall Street yang berargumen bahwa 95 persen pertumbuhan pendapatan pasca resesi 2008 telah masuk ke kantong mereka yang berada di 1 persen puncak.
Jadi, kapitalisme telah “di-hack” oleh para one-percenter. Dan fenomena ini juga tampak di Indonesia. Para miliarder USD asal Indonesia telah menempati posisi-posisi puncak dunia, walaupun kebanyakan berbisnis bahan tambang, bukan teknologi seperti di AS.
Indonesia perlu dengan sadar mengantisipasi gelombang digital berikut yang bersumber dari penggunaan smartphone dan telpon selular secara masif oleh lebih dari separuh penduduk. Diterjemahkan dalam angka, ini mencapai hampir 150 juta orang. Pasar luar biasa yang dapat dengan mudah menghasilkan return on capital dengan partisipasi minimal.
Digitalisasi pemerintahan dan administrasi negara juga memungkinkan partisipasi aktif warga negara, sehingga jumlah pegawai administrator bisa dikurangi secara signifikan. Ini juga membawa efek positif yaitu efisiensi budget dan penurunan resiko terjadi korupsi.
Revolusi mental jelas sangat mungkin terjadi di Era Digital ini. Apalagi dengan dukungan Presiden Jokowi dan para warga yang sadar akan kesempatan besar ini.[]
KONTAN Weekly, 27 Oktober-2 November 2014