[Download PDF KONTAN WEEKLY Dunia Bisnis Multikultural]
oleh Jennie M. Xue
Hidup dan bekerja di dunia multikultural membentuk kepribadian seseorang dengan sangat nyata. Mereka yang multikulturalis dapat merasakan (sensing) apa yang diterima atau tidak diterima dalam suatu kultur. Kemampuan bertahan (surviving) dan bahkan sukses (thriving) dalam berbagai kultur merupakan skill tersendiri yang sangat dibutuhkan di era dunia rata (flat world) ini.
Ada beberapa poin penting yang ingin penulis sampaikan. Beberapa dari pengalaman hidup, bekerja dan berbisnis di luar Indonesia selama 18 tahun. Ini dapat diterapkan di mana saja dan sebaiknya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia ketika berelasi dengan siapa saja.
Pertama, berbeda kultur namun hargailah sesama manusia.
Penghargaan terhadap sesama manusia sangat penting. Di Indonesia yang sangat mengutamakan “kelihatan tinggi,” tidak jarang seorang pebisnis yang merasa “tinggi,” menyuruh asistennya yang berhubungan dengan orang lain. Padahal, orang tersebut sangat penting artinya bagi bisnisnya.
Dalam jual-beli properti di tanah air, misalnya, sangat umum pemilik properti tidak hadir dalam negosiasi dengan broker, padahal dalam kode etik internasional, ini tidak diperbolehkan. Pemilik properti perlu hadir dalam negosiasi. Jika berhalangan, ada wakilnya yang telah diangkat secara hukum (proxy).
Alasannya “tidak mau diketahui orang lain bahwa ia sedang dalam proses menjual properti, ntar apa kata orang.” Mengapa perlu malu? Jual-beli properti merupakan salah satu ciri kecerdasan alokasi aset. Tidak perlu merasa minder. Dan sebaiknya bina hubungan baik langsung, karena kita semua manusia. Berhubungan langsung dengan pihak lain menunjukkan kebesaran hati dan keterbukaan dalam bisnis.
Kedua, mengukur cultural intelligence.
Bagi seseorang yang telah hidup lama dalam multikultur, semestinya ia memiliki cultural intelligence yang cukup untuk survive dalam dunia bisnis global. Namun, kembali lagi bahwa tidak semua orang mempunyai kadar inteligensi yang sama dari 8 plus 3 inteligensi multipel yang dicetuskan Prof. Daniel Goleman.
Kenali seberapa baik inteligensi kultural Anda, bukan semata dari kemampuan membedakan berbagai artifak dan simbol kultur, namun dari kemampuan membangun kerja sama profesional. Tidak perlu, misalnya, memberi hadiah pertemanan sebuah benda tradisional Jepang kepada seorang pebisnis dari Tokyo.
Ini malah menunjukkan kenaifan kultural. Jadilah diri sendiri namun memperhatikan berbagai nuansa pembeda yang terbawa dari unsur-unsur kultural.
Ketiga, posisi perempuan dan LGBTQ dalam bisnis, serta pelecehan seksual.
Sudah lampau era di mana perempuan dan LGBTQ dipandang sebelah mata ketika berbisnis. Apapun pilihan jender dan orientasi seksual, bukalah pintu bisnis. Ketika membangun relasi, kembalilah kepada respek universal.
Salami setiap orang dengan tulus dan hangat, tanpa perlu memandanginya dari ujung rambut ke ujung kaki. Komunikasi hendaknya sopan dan tidak menyinggung jender dan orientasi seksual.
Dalam dunia bisnis internasional, ketika seseorang bercanda (joke) yang membuat seseorang merasa jengah, maka ia telah melakukan pelecehan seksual. Dalam korporasi, orang tersebut bisa ditegur atau dipecat seketika. Dalam relasi bisnis, ini merupakan salah satu bentuk pembakar jembatan (burning bridges). Hindari impulsi untuk melecehkan orang lain yang berbeda dari kita.
Keempat, standar gaya profesional dan pebisnis.
Gaya berpakaian (dress code) berbeda dari satu industri dengan industri lainnya. Dress code dalam bisnis kreatif berbeda dengan bisnis perbankan dan hukum, misalnya. Namun benang merahnya sama: bersih dan segar. Bukan kucel, bau, dan jorok.
Di Silicon Valley, menggunakan T-shirt dan celana jins ke kantor sangatlah umum. Bahkan miliarder sekalipun sangat kasual. Kasual berarti “nyaman dipakai” mengingat sesungguhnya rasa percaya diri berasal dari dalam. Ini sangat nyata dalam pekerjaan-pekerjaan kreatif dan intelektual.
Akhir kata, pahami bahwa dunia ini multikultural. Indonesia hanyalah satu bangsa dari ribuan bangsa lain di dunia. Kenali apa yang dimaksud dengan kebaikan universal, sehingga ketika berhubungan dengan individu dari kultur lain, kita dapat membawakan diri dalam konteks yang tepat.
Bawakan diri sebagai seseorang yang terbuka, hangat, dan berani dikritik. Jauhkan perilaku yang tertutup, mentertawakan orang lain, dan tidak tahan kritik. Bawakan diri sebagai seseorang yang percaya diri namun tidak arogan.
Seseorang “arogan” apabila ia menjatuhkan orang lain untuk meninggikan dirinya. Jika ia yakin dan membawakan diri percaya diri tanpa menjatuhkan orang lain, itulah individu yang tepat untuk dijadikan rekan bisnis. Salam multikultural.
KONTAN WEEKLY, 31 Juli – 6 Agustus 2017