[Download PDF KONTAN DAILY Disrupsi Lyft dan General Motors]
oleh Jennie M. Xue
Di Indonesia, nama Uber dan GrabCar (bagian dari GrabTaxi) telah cukup dikenal. Di AS, ada Lyft yang juga bermodel bisnis ride/car-sharing dengan aplikasi. Lyft mendapatkan suntikan dana USD 500 juta dari General Motors (GM) yang merupakan bagian dari USD 1 miliar pembiayaan venture capital (VC). Valuasi Lyft terakhir mencapai USD 4,5 miliar di luar kapital terbaru.
Di bulan September 2015, Lyft telah berpartner dengan Didi Kuaidi, kompetitor car-sharing berbasis di China dan GrabCar di Asia Tenggaram termasuk Indonesia. Dan investor dari Asia bukan lagi sesuatu yang baru bagi Lyft. Dua investor awal mereka adalah Rakuten dari Jepang dan Alibaba dari China.
Gol jangka pendeknya tentu saja untuk melumpuhkan Uber yang telah duluan penetrasi pasar secara masif. Dengan dukungan kapital GM, dalam jangka panjang, Lyft bervisi mendisrupsi dunia penyewaan mobil di AS dan dunia.
Pertama-tama dengan membentuk hub-hub penyewaan mobil (car rental) di seluruh AS di mana mereka yang tidak memiliki mobil pribadi pun dapat mengendarai mobil yang disediakan Lyft untuk mencari uang saku. Bayangkan bagaimana menariknya program ini bagi pengendara maupun konsumen. Program ini menunjukkan bahwa Lyft bukan hanya “semacam Uber” namun juga “semacam taksi resmi” yang mempekerjakan pemilik mobil dan pengendara mobil perusahaan.
Dalam advertensinya, potensi mengendarai mobil Lyft mencapai USD 1500 per minggu atau USD 6000 per bulan, setara dengan gaji seorang manajer di California. Jumlah ini sangat menggiurkan mengingat kondisi ekonomi dan angka pengangguran di AS masih belum optimal.
Kedua, GM dan Lyft sedang menggodok kemungkinan untuk membangun jaringan mobil-mobil self-driving, alias “tanpa disetir oleh manusia” sebagaimana yang telah dipelopori oleh Google dan Tesla. Presiden Lyft John Zimmer berpendapat bahwa mobil-mobil self-driving sebaiknya dikelola oleh jaringan perusahaan daripada dijual dan digunakan oleh para individu.
Saat ini, yang menjadi kendala realisasi adalah regulasi lalu lintas self-driving cars di tingkat negara bagian. Di California, misalnya, regulasi bagi kendaraan self-driving masih dalam tahap pengembangan.
Izin testing mobil-mobil self-driving telah disetujui negara bagian California di bulan Desember 2015 untuk Volkswagen, Mercedes Benz, Google, Delphi Automotive, Tesla Motors, Bosch, Nissan, Cruise Automation, BMW, Honda, dan Ford. Namun, untuk penggunaan mobil-mobil self-driving di jalan raya masih dalam tahap pertimbangan.
Visi GM yang cukup berani dalam hal ini merupakan cerminan perubahan perilaku konsumen pasca resesi di AS. Fakta bahwa Generasi Milenial yang semakin menggilai sharing economy daripada ownership economy semakin membuka pintu untuk berbagai jasa transportasi fleksibel. Di AS sendiri yang lebih mengandalkan transportasi otomobil daripada transportasi publik masal seperti kereta dan kereta bawah tanah, juga membuka kesempatan besar untuk jasa-jasa mobil semacam Lyft dan Uber.
GM mengenali betul “bahaya” dari jasa-jasa mobil car-sharing dan ride-sharing yang sangat berpotensi menurunkan omzet penjualan mobil. Besar kemungkinan langkah GM ini juga akan diikuti oleh produsen mobil dari Jerman dan Jepang lainnya.
Di tahun 2011, GM telah bekerja sama dengan RelayRides, yaitu tempat transaksi car-sharing di mana para pemilik mobil menyewakan mobil-mobil mereka yang sedang tidak digunakan. Ford juga telah berpartner dengan Getaround dan Daimler Mercedes telah berpartner dengan Car2Go.
Sebagai perbandingan, Uber telah mendapatkan kapital sebesar USD 10 miliar dan divaluasi USD 62,5 miliar. Jadi, Lyft hanyalah 1/14 nilai Uber. Ini perlu dikejar.
Selain itu, Uber mempunyai pusat riset self-driving cars di Pittsburg dan sangat getol mempekerjakan para pakar dari Carnegie Mellon University dan para jebolan Google. Dua institusi ini dikenal sebagai pionir self-driving cars.
Sepak terjang Lyft juga bisa dilihat dari keberhasilan menggaet kerja sama dengan Starbucks, Shell, Hertz, dan Justin Bieber.
Kerja sama dengan Shell ini sangat menunjang karena menekan pengeluaran para driver independen Lyft dengan diskon yang menarik. Sedangkan bisnis rental mobil Hertz memberikan kesempatan bagi para driver independen yang tidak memiliki mobil sendiri.
Kerja sama dengan Starbucks berupa transportasi bagi para barista yang mengalami kesulitan transportasi publik ketika berangkat dan pulang kerja. Lyft memberikan jasa pengantaran gratis bagi para barista. Semacam shuttle kerja begitulah.
Akhir kata, bagaimana sepak terjang Lyft di Indonesia bisa kita amati. Banyak yang bisa kita pelajari dari model bisnis dan strategi mereka.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 4 Maret 2016