[Download PDF KONTAN DAILY Darwinisme Digital 2020]
Tom Goodwin dari Zenith Media USA mempopulerkan terminologi “darwinisme digital.” Dan Charles Darwin adalah bapak Biologi konsep “survival of the fittest” dalam seleksi alam.
Diterapkan dalam dunia bisnis, pada tahun 1955, Edgar P. Smith memetakan Top 500 American Companies yang diterbitkan di majalah Fortune. Setelah 60 tahun, ternyata hanya 71 perusahaan (dari total 500) tersebut yang masih berdiri.
Artinya, 429 lainnya telah tutup pintu dan tidak lagi beroperasi karena satu dan lain hal. Yang pasti, karena tidak lagi menghasilkan keuntungan. Menggunakan analogi Darwin, yang survive karena fit dalam dunia digital era Internet zaman now hanyalah 71.
Lantas, apakah bisnis yang “go digital” pasti akan survive? Belum tentu, karena membutuhkan strategi-strategi diruptif.
Minimal ada 5 strategi yang sangat menentukan survival ala Darwinisme di era ini.
Satu, terus-menerus membangun terobosan secara disruptif walaupun sering kali “kanibalistik.” Beranikan diri untuk memodifikasi apa yang telah ada dengan taktik-taktik baru.
Tentu saja ini membutuhkan kejelian dalam mengangkat hal-hal baru dari yang “belum ada” menjadi “ada.” Berbagai model bisnis yang 10-20 tahun lalu belum ada, kini telah merajalela seiring dengan informasi, misalnya video streaming, jasa-jasa via aplikasi, dan berbagai cloud-based apps.
Dua, ringan saja bergerak, jangan terbeban. Bisa saja berbagai inovasi menjadi add-on di masa depan, namun diawali dengan sesuatu yang termasuk kategori “aman” dan “konservatif.” Dan ini bisa saja masih dalam fase “riset,” namun sudah diberanikan untuk beta testing.
Keberanian untuk mencoba sesuatu yang sama sekali baru membutuhkan energi ekstra. Terkadang, di era penuh ansietas dan ketidakpastian ini, kita perlu punya “cadangan” kesabaran dan ketabahan. Beri waktu untuk suatu konsep bekerja, namun jangan terlalu lama hingga bertahun-tahun. Gunakan milestone wajar.
Tiga, fokus ke core competencies alias hal-hal yang menjadi keistimewaan Anda. Inovasi tetap perlu, namun yang menjadi bisnis inti semestinya tetap dipelihara dengan baik.
Kerahkan R&D optimal agar produk inti semakin naik kelas dalam konteks kualitas dan kekinian secara sains. Sebagai contoh, skincare zaman now sangat terjangkau harganya. Cukup dengan belasan ribu IDR saja, kualitas produk sangat bersaing dengan yang jutaan IDR. Ini karena produk inti yang semakin tinggi kualitasnya secara sains.
Empat, bersandar kepada sains, namun bergerak dengan seni. Baik produk inti maupun add-on perlu bersandar kepada sains. Artinya, selalu update dengan hal-hal terbaru di dalam industri yang bersangkutan.
Ini membutuhkan kesediaan belajar. Jangan sampai bisnis Anda menjadi seperti Kodak atau Sony yang tidak kompetitif lagi di dalam industri asal mereka. Memang dua merek besar ini masih ada, namun mereka tidak lagi berfokus pada produk awal yang mensukseskan mereka.
Lima, pemasaran tetap dibutuhkan. Ini merupakan cara mendiseminasi informasi mengenai produk dan kualitasnya kepada masyarakat luas. Jadi, tanpanya, akan sangat sulit dikenal. Padahal, dalam bisnis, kekuatan branding sangat menentukan sukses.
Penggunaan sosmed sering kali dipandang enteng, padahal dengan tweaking strategi-strategi yang tepat, bisa jadi Instagram merupakan tempat menjala konsumen baru dan komunikasi dengan konsumen lama.
Darwinisme digital bukanlah momok yang perlu ditakuti. Pandang ini sebagai sarana jalan pintas yang tidak ada 20 tahun yang lalu. Cukup dengan menjadi organisasi yang fit, Anda bisa menguasai pasar dunia via Internet. Tentu saja ini membutuhkan stamina maraton jangka panjang.
Sepanjang selalu membuka mata akan kesempatan-kesempatan yang ada dan mengintegrasikan teknologi berstandar sains dengan sebaik mungkin, niscaya bisnis Anda survive sebagai the fittest. Optimis di tahun 2020.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 24 Januari 2020