[Download PDF KONTAN WEEKLY Bystander Effect]
by Jennie M. Xue
Setiap kultur mempunyai standar “earn your own life” masing-masing. Kebetulan saya sangat dekat dengan dua kultur: Indonesia dan Amerika Serikat. Komparasi kedua kultur ini sangat menarik karena masing-masing dapat saling belajar dari kelebihan dan kekurangan.
Di Indonesia yang (maaf) sangat sarat dengan feudalisme dan nepotisme, “earning your life” sedikit “lebih ringan” dibandingkan dengan di AS yang sangat mengandalkan hard skills dan soft skills. Tentu saja nepotisme dan favoritisme selalu hadir dalam kultur apapun, namun kadarnya tidak pernah sama.
Dalam artikel ini, penulis berusaha menggambarkan perbedaan konsep “earn your own life” dalam dua kultur yang berbeda tersebut dan bagaimana para manajer Indonesia dapat mendisrupsi kultur kerja sehingga standar dapat ditingkatkan.
Setiap perubahan kecil dalam individu memberi kontribusi terhadap kultur secara keseluruhan. Dimulai dari diri sendiri, lantas meluas kepada tim, organisasi, wilayah, dan negeri. Ujungnya adalah perubahan peradaban manusia.
Bagi seseorang yang telah hidup hampir 20 tahun di AS, nuansa-nuansa samar dalam kedua kultur ini sangat jelas terbaca. Komparasi terjadi secara organik. Setiap gerak-gerik seseorang termagnifikasi. Keputusan-keputusan yang diambil oleh sekeliling juga sangat terasa bedanya.
Sebagai contoh, penulis sudah sangat terbiasa mengunjungi restoran-restoran di California yang dikelola oleh keluarga: suami, istri, dan dua anak mereka. Hanya dengan empat orang, misalnya, satu restoran dengan 10 hingga 15 meja berjalan dengan baik. Si ayah bekerja di dapur sebagai tukang masak, istri melayani sebagai waitress merangkap kasir, dan dua anak bekerja shift sebagai busboy atau waiter sepulang kuliah.
Ketika penulis bandingkan dengan salah satu restoran tradisional ternama di Jakarta, misalnya, tidak jarang ada lebih dari 10 pelayan yang berdiri diam bersandar di dinding. Belum lagi ada beberapa pelayan yang berjaga di kasir. Penulis bayangkan di dalam dapur minimal ada 5 hingga 10 pegawai lagi.
Jadi, pada satu saat yang sama, ada sekitar 30-an pegawai yang hadir. Luar biasa padat karya. Padahal, tidak semua aktif menjalankan tugas. Bayangkan kalau 30 pelayan secara serentak melayani customer, betapa riuhnya.
Mengapa mempekerjakan sedemikan banyak pegawai padahal ini tidak menjamin produktivitas dan efisiensi? Bahkan, besar kemungkinan terjadi “bystander effect.”
“Bystander effect” adalah terminologi dalam Psikologi Sosial mengenai fenomena di mana para individu tidak bertindak ketika terjadi sesuatu terhadap orang lain yang membutuhkan bantuannya. Studi menunjukkan bahwa mereka yang hidup di kota-kota besar, seperti New York City, Jakarta, dan Hong Kong lebih “tidak peka” terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain.
Hal yang sama terbaca dari para pelayan restoran yang terlihat bergerombol sehingga tidak memperhatikan customer yang memanggil. Bagi customer dan pemilik restoran, ini jelas merugikan.
Apa hubungan “bystander effect” dengan “earn your life”?
Intinya, semakin banyak orang dalam suatu ruangan atau tempat tertentu, mereka semakin tidak perduli akan kesulitan atau kebutuhan orang lain. Dalam konteks pekerjaan, bukankah ini berarti semakin menurun investasi tenaga dan waktu seseorang untuk “earn” alias “meraih” prestasi kerjanya?
Tentu ada pertimbangan lain mengapa bisnis di Indonesia mempekerjakan banyak pegawai. Salah satu alasannya adalah tanggung jawab bisnis dalam membantu menurunkan pengangguran dengan membuka lowongan kerja.
Alasan berikutnya yang cukup “klasik” adalah produktivitas per pegawai di Indonesia yang lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas serupa di negara-negara lain. Logikanya, semakin banyak yang membantu, pekerjaan semakin cepat selesai.
Sayangnya, fakta sering kali berbeda. Bisa saja distraksi dan “bystander effect” dari segerombolan orang semakin menurunkan produktivitas dan kualitas hasil pekerjaan.
“Earn your life” alias “raihlah hidupmu dengan usaha,” jangan hanya berdiri diam dan bersandar pada dinding saja. Biasakan untuk aktif dan proaktif dalam melayani konsumen dan bekerja. Terlepas dari kultur kerja di Tanah Air, ada baiknya kita membiasakan diri untuk lebih peka akan “what I do best to make a change” alias “apa yang dapat saya lakukan untuk membawa perubahan.”
Idealnya, kita hidup optimal dan bekerja lebih dari sekedar “optimal.” Satu hal kecil pembeda antara diri dengen rekan-rekan kerja telah merupakan poin lebih yang penting. After all, perubahan-perubahan kecil yang terakumulasi mempercepat proses perubahan peradaban.[]
KONTAN WEEKLY, 4-10 April 2016