[Download PDF KONTAN WEEKLY Bukan karena Tidak Tahu]
oleh Jennie M. Xue
Mungkin Anda mengira bahwa karena kita tidak tahu, maka kita dapat terjerumus. Sebenarnya, apa yang kita tahu sering kali juga menjerumuskan. Karena apa yang kita tahu ternyata sering kali “salah.”
Kita percaya mitos dan legenda, daripada fakta. Kita percaya opini daripada fakta. Kita percaya supernatural daripada sains. Padahal, untuk dapat dipercaya, semua harus diuji dengan fakta dan verifikasi.
Sebaiknya gunakan metodologi verifikasi secara sains, namun jika ternyata tidak memungkinkan, gunakan logika yang baik dan berdasarkan kualitatif yang teruji. Kata hati atau “insting” boleh dipakai, namun harus didampingi oleh fakta dan verifikasi yang tidak terbantahkan.
Singkatnya, bukan karena kita tidak tahu maka kita terjerumus, namun karena kita memegang sesuatu yang salah. Hanya sekedar tahu, juga bukan berarti memahami hingga ke akarnya dan juga belum tentu berarti pasti dapat dieksekusi.
Ingat, ada 3 tingkat “tahu.” Pertama, sekedar tahu alias pernah dengar. Kedua, paham alias mengenal hingga ke akarnya dan dapat menerangkan secara jelas dari A ke Z mengenai sesuatu. Ketiga, mampu eksekusi segala sesuatu yang dijelaskan di tingkat kedua alias “tidak hanya asal bicara doang.”
Mitos dan legenda bukanlah fakta. Opini juga bukan fakta. Jika Anda memegang mitos, legenda, dan opini sebagai fakta, bisa jadi Anda akan terjerumus terus.
Tingkatkan kemampuan membedakan mitos, legenda, opini, dan fakta, sehingga Anda mampu memproses informasi dan mengambil kesimpulan dengan baik. Selain itu, kenali juga kapan Anda memfokuskan pikiran pada satu hal saja, padahal ada banyak variabel yang perlu diperhatikan.
Contohnya, ketika seseorang sangat menginginkan sesuatu, maka ia cenderung untuk melihat sisi yang baik saja tanpa memperdulikan sisi yang tidak baik. Padahal, agar dapat mengambil keputusan yang baik, ia perlu mengenali sisi baik dan buruknya.
Jadi, hanya “tidak sekedar tahu” namun telah mencapai tingkat “paham dari A ke Z.”
Perasaan “menginginkan” lebih tinggi kadarnya daripada pikiran obyektif dalam mempertanyakan apakah sesuatu itu memang layak untuk dimiliki. Ini sebenarnya cukup berbahaya, karena bisa mengganggu kelancaran.
Riset menunjukkan bahwa memang manusia lebih memfokuskan diri pada perasaan daripada pikiran. Dengan kata lain, mayoritas manusia mengambil keputusan dengan perasaan. Humans are feelers first before they are thinkers.
Ini merupakan premis dari iklan-iklan dan berbagai aktivitas pemasaran. Ketika perasaan berbicara, rasio menjadi tidak seberapa berperan. Jadilah konsumen membeli barang-barang yang diinginkan, bukan karena dibutuhkan.
Mengambil keputusan dengan hasil pemikiran bisa dan harus dilatih, sehingga berbagai kesalahan berpikir (logical fallacy) dapat diminimalkan.
Kebiasaan menghubung-hubungkan sesuatu dengan yang lain sehingga membentuk pola sebenarnya merupakan tendensi umum. Namun, tidak semua pola merupakan hasil pemikiran yang sahih. Bisa saja pola-pola merupakan antropomorfisme atau bentuk-bentuk fallacy lainnya.
Suatu opini atau pernyataan apapun yang masih belum jelas faktanya, sebaiknya tidak diterima mentah-mentah. Gunakan sedikit “jeda” waktu untuk mencerna informasi sebelum beropini atau mengambil kesimpulan. Gunakan tingkat kepahaman kedua.
Kita bertahan hidup sebagai spesies karena ada kantong-kantong dalam grup spesies yang kuat dalam memberikan fakta dan verifikasi. Mereka ini adalah opinion maker yang kuat dengan spirit kepempimpinan. Mereka memimpin anggota spesies lain yang tidak punya kemampuan berpikir sebaik mereka.
Anda bisa melatih diri untuk menjadi seperti mereka. Mulailah dengan menjadi seseorang yang “tahu karena memang tahu,” bukan karena ikut-ikutan. Juga bukan karena Anda mengikuti mitos, legenda, dan opini yang salah. Pahami dan eksekusi.
Namun, ketika Anda telah paham dan mampu mengeksekusi kepahaman Anda, bangunlah opini yang berpusat pada opini Anda.
Dalam dunia bisnis, gunakan kemampuan membangun opini untuk “menjual” harapan. Bukan menjual produk itu sendiri. Ketika Anda hanya menjual produk, yang terjadi adalah transaksi jangka pendek atau bahkan hanya satu kali saja.
Harapan itu powerful dan bernilai jual sangat tinggi. Produk-produk Apple memberikan harapan bahwa hasil dari penggunaannya akan lebih baik dibandingkan dengan menggunakan produk-produk Windows and Android. Ritz-Carlton dan Fairmont hotel memberikan harapan pelayanan super premium bagi para pelanggan.
Dari tidak tahu menjadi tahu, paham, dan mampu mengeksekusi. Ujungnya adalah memberikan harapan yang bernilai jual tinggi.[]
KONTAN WEEKLY, 3-9 Oktober 2016