Select Page

Kontan

Download KONTAN Daily Bubble Social Media dan Inovasi

oleh Jennie S. Bev

Terhitung
bulan April, saya memulai karir di salah satu perusahaan paling dikagumi di
seluruh dunia yang berkantor pusat di Cupertino. Ini mentahbiskan keberadaan
saya sebagai pengamat bisnis di Silicon Valley yang bermain “dari dalam.” Observasi
sebagai “orang dalam” sedikit berbeda dengan observasi dari luar.

Kalau
dulu pengamatan saya murni dari luar, pemandangan dari dalam sedikit
mengaburkan gambaran pemandangan dari “jendela helikopter,” namun memberikan
kesempatan untuk bisa memandang dengan jelas apa yang terjadi di “dalam dapur.”
Pemandangan dari “dalam dapur” lebih jelas, namun juga terkadang hanya
sepotong-sepotong. Pemandangan dari “jendela helikopter” lebih menyeluruh dan
bisa dibandingkan dengan pemandangan yang berbeda.

Kalau
di tahun 1980an, Sony berjaya dengan Walkman stereonya yang digandrungi seluruh
dunia, maka di dekade kedua 2000an, yang tren adalah social media dan
inovasi-inovasi hardware. Sangat menarik memperhatikan seluk-beluk “dapur”
analitiks pemasaran sampai dengan pengambilan keputusan akan produk-produk
inovatif apa saja yang sedang digodok di litbang yang bersangkutan.

Dua
pertanyaan yang sedang gencar dilontarkan oleh para pengamat belakangan ini:
Bagaimana nasib social media? Inovasi hardware IT mandeg-kah setelah komputer
tablet?

Social
media dimulai dengan “kakek” Friendster dan Multiply, sekarang dengan
popularitas Facebook dan Twitter. Yang menarik dari beberapa survei terakhir
adalah: generasi muda dunia yang sudah mulai “lelah” bermain social media.
Bahkan ada yang sudah “puasa” dan “deaktivasi” akun Facebook mereka.

Social
media sudah menjadi “web site tempat kumpul teman-teman dan keluarga.” Jadi
semacam email list zaman Hotmail dulu. Sekali pasang status atau broadcast
Facebook mail dan Twitter twit, diharapkan teman-teman menerima kabar dan
segera memberi komentar dan pesan balasan. Unsur interaktif juga semakin
terotomatisasi dengan RSS dari blog, aneka koran online, dan sambung-menyambung
dari blog ke Twitterfeed ke LinkedIn ke Twitter ke Facebook dan seterusnya.

Generasi
ini juga sudah sejak lama dimanjakan oleh smartphone yang diawali dengan iPhone
sekitar enam tahun yang lalu. Kini, berbagai hardware tablet Android dijumpai
di mana-mana. Untuk generasi yang “digital native” ini, mereka membutuhkan
kecanggihan-kecanggihan yang impresif. Versi-versi terbaru teknologi sudah
merupakan hal biasa bagi mereka. 

Generasi
hardware berikut yang cukup mendapatkan sorotan adalah Google Glass dan iWatch
dari Apple, yang membuat hidup manusia lebih digital daripada yang digambarkan
Star Trek era 1960an. Sayangnya, bagaimana produk-produk ini nanti diterima
pasar, masih merupakan tanda tanya.

Inti
dari suatu produk yang bertahan lama adalah value alias nilai tambah yang
diberikan. Tanpa produk tersebut, maka fungsi-fungsi tertentu lebih lambat,
lebih mahal, semakin kurang berbobot, dan semakin tidak bergaung. Produk-produk
social media sudah kehabisan daya dan upaya untuk menambahkan nilai. Berbagai
cara mengkomersialkan produk sudah dijalankan.

General
social media berikutnya seperti Foursquare, Path, Quora, dan Pinterest
tampaknya hanya tren yang terbawa arus Facebook. Para karyawan Groupon dan
Zynga, misalnya, sudah membanjiri para headhunter Silicon Valley, yang bisa
jadi merupakan indikator bahwa dot-com mereka mengalami suatu guncangan.
Terlepas dari mantapnya tampak luar pijakan merek Facebook, produk nyata dari
mereka masih belum jelas dan kerugian yang diderita pemegang saham juga
merupakan indikator kelemahan.

Menurut
Vikram Mansharamani dalam Boombustology: Spotting Financial Bubbles before They
Burst, dari 5 lensa analisis fenomena bubble finansial, yang paling mengena
terhadap social media adalah kerangka psikologi. Manusia terdorong berbagai
alasan, senantiasa mencari tempat di mana mayoritas berkumpul. Ini bisa dipakai
untuk social media. 

Inovasi
hardware sendiri membutuhkan para pelaku bervisi jauh dan tajam. Apple dan
Google masih merupakan duo raksasa yang telah mulai mengalahkan Microsoft. Bagaimana
para periset dan pengembang hardware terus mengembangkan teknologi yang
meningkatkan nilai bagi konsumen, merupakan tantangan hebat.

Akhir
kata, suatu produk baik high-tech maupun low-tech bisa menjadi bubble finansial
ketika nilai tambah tidak seberapa namun sungguh besar gaung keberadaannya.
Dengan kata lain, ketika bunyi publisitas lebih nyaring daripada fungsi
sesungguhnya, sudah waktunya untuk berhati-hati dan berpaling ke produk-produk
hasil inovasi mutakhir.[]

KONTAN Daily, Jumat 24 Mei 2013

Pin It on Pinterest

Share This