Select Page


[Download PDF KONTAN DAILY Blunder Iklan Nivea]

oleh Jennie M. Xue

Warna hitam dan putih telah beberapa kali digunakan Nivea dalam kampanye pemasaran mereka. Nivea tampaknya telah beberapa kali perlu menarik kembali iklan-iklan yang “kurang sensitif” dan tidak dapat diterima masyarakat, yang berhubungan dua warna tersebut.

Dalam artikel ini dibahas tiga blunder iklan Nivea yang cukup meresahkan namun cukup memberi pelajaran bagi para marketer.

Di pertengahan Oktober 2017 kemarin, iklan Nivea yang mempromosikan “visibly fairer skin” yang diperagakan oleh ratu kecantikan Omowunmi Akinnifesi di Nigeria telah membuat banyak pihak tersinggung, sehingga perlu dicabut.

Dalam iklan video tersebut, ia berujar sambil mengolesi kulit tubuhnya dengan Nivea, “Now I have visibly fairer skin, making me feel younger.” Sekarang kulitku sudah lebih putih, ini membuatku merasa lebih muda.

Awal kontroversi iklan ini adalah seorang musisi asal Ghana bernama Fuse ODG yang memuat iklan tersebut di akun Instagram-nya.

Komentar di postingnya, “For those of you claiming the word “fairer” means beautiful. TakeDown ya SelfHate billboards in Africa.” Bagi mereka yang mengklaim “putih artinya lebih cantik.” Turunkan billboard-billboard yang “membenci diri sendiri.”

Blunder iklan Nivea sebelumnya terjadi di bulan Maret 2017, ketika Nivea meluncurkan kampanye deodoran Nivea Invisible Black and White. Kemasan deodoran ini terbagi dalam dua warna: hitam dan putih.

Untuk mempromosikannya, Nivea yang berbasis di Jerman ini menyebarkan iklan Facebook berjudul “white is purity.” Putih adalah kemurnian. (Wah, apakah hitam berarti “tidak murni”?)

Iklan ini ditujukan kepada konsumen di Timur Tengah. Foto modelnya adalah seorang perempuan berambut hitam menghadap ke belakang dengan mengenakann pakaian berwarna putih.

Caption-nya tertulis, “Keep it clean, keep it bright. Don’t let anything ruin it.” Tetaplah bersih, tetaplah cemerlang. Jangan biarkan ternoda.

Setelah diprotes para pengguna Facebook, mereka mencabut iklan tersebut. Facebook page mempunyai 19 juta orang yang me-like (semacam “friends” untuk page).

Salah satu pengguna Twitter berujar, “Not cool at all. #Racism is not a good marketing strategy.” Tidak “cool” ya. Rasisme bukan strategi marketing yang baik.

Ada satu lagi blunder iklan Nivea. Di tahun 2011, Nivea menerbitkan iklan ber-tagline “Re-Civilize Yourself.” Buatlah dirimu beradab kembali.

Iklan tersebut berfoto seorang laki-laki berkulit hitam dengan potongan rambut rapi pendek dan memegang kepala seorang laki-laki berkulit hitam berambut afro kribo. Tampaknya, dalam iklan tersebut, seseorang berambut afro dipandang “tidak beradab” sehingga perlu “diperbaiki” dengan Nivea.

Sedangkan dalam iklan serupa dengan versi laki-laki berkulit putih, tidak ditemukan tagline tersebut. Yang ada adalah “Sin City is not an excuse to look like hell.” Di Kota Pendosa (maksudnya Las Vegas), tidak ada alasan untuk kelihatan seperti dari neraka (kiasan untuk “kelihatan tidak rapi”).

Iklan versi pertama diterbitkan dalam majalah Esquire yang segera diprotes oleh pembaca. Secepat itu pula, holding company Nivea bernama Beiersdorf USA, mengeluarkan pernyataan maaf karena sesungguhnya nilai-nilai diversitas, toleransi, dan multikultural telah lama menjadi bagian penting dalam bisnis Nivea.

Apa yang dapat kita jadikan pelajar dari beberapa kasus blunder iklan Nivea?

Pertama, bangun awareness akan apa saja yang dapat diterjemahkan sebagai bentuk-bentuk rasisme. Kenali perbagai gambar, simbol, kosa kata, terminologi, dan gaya penyampaian dalam komunikasi verbal dan tertulis.

Hindari penggunaan iklan yang mengandung nuansa rasisme. Janganlah mengartikan putih sebagai murni dan hitam sebagai tidak murni.

Kedua, apa saja kosa kata, frasa, dan terminologi yang dapat mempunyai arti lebih dari satu (tidak terbatas yang homofon dan homonim). Sebaiknya selalu berhati-hati dalam memastikan makna kata sebenarnya maupun kiasan, daripada terlalu longgar dalam penggunaan.

Ketiga, jangan menggunakan satu standar kecantikan karena dunia ini tidak binari. Seseorang yang berkulit putih bukan berarti lebih cantik atau lebih ganteng daripada mereka yang berkulit hitam. Demikian pula sebaliknya.

Dunia adalah spektrum (pelangi). Ada banyak warna dan variasi hue/shade.

Keempat, produk-produk pemutih semakin ditinggalkan konsumen seiring dengan edukasi akan bahaya mercury. Di India, misalnya, pemerintah telah melarang iklan yang mempertontonkan kulit hitam sebagai inferior.

Industri pemutih kulit memang sangat besar, yaitu mencapai USD 31 miliar di 2024. Namun ini bukan merupakan alasan bagi perusahaan kosmetika untuk menjadi serakah membabi buta tanpa memperhatikan etika periklanan.

Akhir kata, tanamkan kepekaan kemanusiaan dalam mendesain iklan. Be sensitive. The world is a spectrum, not binary.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 22 Desember 2017

Pin It on Pinterest

Share This