Download KONTAN Weekly Blind Spot Teknologi
oleh Jennie M. Xue
Sembilan dari 10 perusahaan teknologi terbesar di dunia berbasis di Negeri Paman Sam. Kebanyakan berlokasi di sekitar kediaman saya: Silicon Valley. Namun, ini sering kali diabaikan alias tidak begitu “terlihat.”
Penyetir mobil kenal betul dengan istilah “blind spot” aliast “titik yang tidak terlihat” seperti di sisi sebelah kanan dan kiri mobil yang tidak terjangkau oleh cermin samping dan belakang. Hanya terlihat ketika Anda menggerakkan badan dan menolehkan seluruh tubuh dan leher.
Di setiap industri, “blind spot” ada di mana-mana, termasuk dalam industri teknologi.
Consumer Electronics Show di Las Vegas baru-baru ini menonjolkan tren “The Internet of Things” yang kedengarannya “cukup membingungkan.” Ini karena kita berada di titik “blind spot.” Selama ini kita hanya memperhatikan fungsi-fungsi Internet yang langsung berhubungan dengan apa yang kita kerjakan sehari-hari.
Tahun lalu, televisi 4K alias “ultra high definition” baru didebut. Sekarang sudah bisa ditemui televisi-televisi buatan China yang 4K. Beberapa tahun lalu NetFlix yang terkenal dengan jasa penyewaan DVD melalui pos telah meluncurkan streaming video langsung ke televisi di ruang duduk Anda via televisi digital standar.
Frasa terbaru dari CES Las Vegas 2014 adalah “The Internet of Things.” Evolusi Internet 3.0 sudah sedang berjalan. Intinya adalah kemampuan saling berkomunikasi secara digital berbagai gadget, aplikasi dan otomatisasi secara simultan. Smartphone, misalnya, merupakan hasil evolusi Internet.
Sebagai konsumen smartphone, mungkin kita hanya takjub dengan fitur-fiturnya yang menawan serta aplikasi-aplikasi yang sangat mudah digunakan dan luar biasa murah meriah. Padahal, “The Internet of Things” mempunyai potensi bagi umat manusia untuk hidup ala di zaman Kapal Induk Enterprise di film seri Star Trek.
Dengan menurunkan harga jual smartphone sebesar USD 10 saja, sebanyak seratus juta orang bisa memiliki daya beli. Bayangkan berapa milyar lagi smartphone yang akan terjual. Dan ini bisa terjadi sebentar lagi, dalam hitungan satu dua tahun lagi atau bahkan beberapa bulan.
Sensor-sensor yang ditempelkan di tubuh Anda bisa lebih dari sekedar mengukur detak jantung, kalori yang terbakar, dan jumlah langkah. Sebentar lagi, hidup Anda memiliki “remote control,” walaupun mungkin belum sedrastis film Surrogate tentang robot-robot yang mewakili Anda di dunia nyata.
Bahkan CEO Qualcomm Paul Jacobs telah memperkenalkan sensor kesehatan super peka yang sedang dikembangkan untuk mendeteksi serangan jantung dua minggu sebelumnya. Ini sudah sedang dikembangkan, sehingga bukan lagi suatu “harapan” atau “wacana” belaka.
“The Internet of Things” merupakan perkawinan yang sangat luwes antara kehidupan manusia di dalam peradaban analog dengan peradaban yang berInternet. Mobil yang bisa menyetir sendiri Google Cars sudah mulai diperkenalkan di beberapa negara yang memperbolehkan otomobil otomatis tanpa pengemudi. Hukum Lalu Lintas di beberapa negara maju telah diamandemen dan direvisi untuk mengakomodasikan perubahan dalam peradaban manusia ini.
Mengantisipasi penduduk dunia yang akan mencapai 10 milyar di tahun 2050, penggunaan sensor dalam segi kehidupan dan peradaban manusia sudah merupakan kebutuhan yang mendasar. Tanpa ini, komunikasi fisikal akan semakin sulit mengingat kendala-kendala fisik di jalan akan semakin menggunung dan mengganggu.
Semakin besar big data yang akan dihasilkan dari interaksi berbagai gadget yang saling berkomunikasi secara alami. Ini juga berarti aktivitas-aktivitas individu juga semakin tidak privat.
Namun ini bukan berarti tidak ada halangan. Air-based data sangat efisien, namun untuk beberapa negara tertentu, ini merupakan tantangan besar. Termasuk bagi Indonesia. Teknologi low latency yang ditawarkan oleh beberapa perusahaan di Silicon Valley, termasuk Aviat Networks, misalnya, akan sangat membantu capital market trading dan berbagai proyek-proyek engineering lainnya.
“The Internet of Things” sering kali tidak disadari aliast “tidak tampak oleh kasat mata,” mengingat ia bisa saja tersembunyi di dalam sebuah smartphone, komputer tablet, atau bahkan chip mungil yang disuntikkan ke bawah kulit. Binatang-binatang peliharaan di negara-negara maju sudah bertahun-tahun yang lalu membawa chip informasi mereka yang disuntikkan di bawah kulit bagian leher.
Mengapa tidak mungkin seorang bayi yang baru dilahirkan membawa chip yang merekam semua gerak-gerik dan pikiran mereka sampai hari meninggal? “The Internet of Things” memberikan banyak kemungkinan bagi peradaban modern. Mari kita gali apa yang bisa kita kembangkan.[]
KONTAN Weekly, 10-16 Maret 2014