KONTAN Weekly Bisnis Produk Habit Forming
oleh Jennie M. Xue
Idaman setiap bisnis adalah membuat konsumen ketagihan produk sebagai repeat customer. Produk-produk habit forming melanda pasar dalam berbagai industri, termasuk sebagai fundamental penting bisnis fast-moving consumer goods.
Salah satu contoh adalah rokok. Perusahaan rokok tetap saja berusaha meningkatkan pasar mereka, padahal nikotin dikenal sebagai carcinogen (salah satu penyebab kanker), sehingga mereka diwajibkan menyisihkan sebagian dari keuntungan untuk pesan-pesan antirokok. Namun, begitulah dunia bisnis. Yang penting kapital berpindah tangan, sepanjang etika masih dipegang hingga ambang tertentu.
Beberapa contoh produk habit-forming yang kita kenal baik lainnya antara lain smartphone, komputer tablet, dan Internet. Jenis makanan favorit tertentu jelas habit-forming, apalagi yang telah dikenal sejak masa kecil. Keberadaan social media seperti Facebook, Twitter, dan YouTube yang adiktif jitu dalam membentuk habit konsumen.
Berbagai aplikasi smartphone dan komputer tablet jelas menggunakan prinsip habit forming, seperti aplikasi Slack mengintegrasi berbagai aplikasi produktivitas tim sehingga habit baru terbentuk dalam komunikasi di tempat kerja. Valuasi terakhir Slack bernilai USD 1,12 miliar. Hebat.
Rahasia sukses aplikasi Slack adalah membuat perilaku konsumen lebih mudah dan efisien tanpa mengubahnya secara drastis. Dan berbagai fitur Slack terkoneksi dengan aksi dan reaksi, sehingga terjadi komunikasi efektif. Bagi para jomblo, Tinder telah menjadi aplikasi super favorit pergaulan dan ajang perkenalan yang adiktif.
Definisi “habit” alias “kebiasaan” adalah perilaku-perilaku otomatis yang disebabkan oleh situasi terbiasa. Dengan kata lain, kebiasaan dilakukan tanpa pikir panjang lagi. Inilah atribut konsumen yang perlu dibidik para produsen dan marketer produk.
Bagi para produsen nilai tambah, ini berarti revenue model subscription yang menjanjikan penghasilan berulang (repeat buying) sangat bisa diterapkan. Hasilnya tentu positif untuk bottom line. Jika revenue model standalone yang dipilih pun, semestinya begitu konsumen teradiksi, berbagai produk lain bisa diserap. Termasuk berbagai bentuk sponsor yang semakin organik setiap hari.
Nir Eyal penulis buku best-seller Hooked: How to Build Habit-Forming Products yang juga pengarjar di Stanford Graduate School of Business dan Hasso Plattner Institute of Design at Stanford, memberikan tiga dasar pengaruh psikologi konsumen bagi produk.
Pertama, setiap produk hebat punya “rahasia” yang mempengaruhi perilaku konsumen. Ini merupakan strategi yang murah meriah tanpa memerlukan kapital besar. Kuncinya adalah mengenali psikologi umum dan psikologi sosial sehingga psikologi konsumen dipahami secara komprehensif.
Kedua, perilaku bisa didesain dengan produk. Produk yang baik mempunyai kemampuan untuk mengubah perilaku, bahkan meninggalkan perilaku lama. Seperti email menggantikan faksimili, touch-screen monitor menggantikan tombol-tombol keyboard, dan menonton acara di Internet menggantikan menonton televisi yang tidak asynchronous. Minum kopi Starbucks kini menggantikan minum kopi tubruk.
Ketiga, psikologi produk bisa digunakan untuk kebaikan maupun sebaliknya. Tentu saja kita tidak mau konsumen menjadi sakit bahkan tewas ketika memakai produk kita. Namun proses “brainwashing” terjadi pada saat perulangan dan pemberian “reward.”
Seperti binatang percobaan perist psikologi asal Rusia bernama Ivan Pavlov yang mengeluarkan air liur ketika makanan dan bel dibunyikan bersamaan. Ketika makanan berhenti diberikan namun bel masih berbunyi, ternyata air liur tetap mengalir karena otak telah terbiasa untuk melakukan korelasi antara makanan dengan bunyi bel. Konsep ini bisa dijadikan prinsip dasar produk-produk habit forming.
Selanjutnya, tiga dasar ini bisa diterapkan dalam empat elemen: penggerak perilaku pembeli, gamifikasi sebagai motivator, desain produk yang sebabkan adiksi (dengan reward), dan copywriting (gaya penulisan pemasar) yang mengena di otak konsumen.
Selamat membentuk habit baru.[]
KONTAN Weekly, 12-18 Januari 2015