Select Page

 Kontan

Download PDF KONTAN Daily Bisnis Minimalistis

oleh Jennie S. Bev

Desain
yang ribet bukan berarti berharga mahal, walaupun untuk pangsa pasar tertentu
sering diidentikkan demikian. Sebaliknya, desain yang sederhana bukan berarti “murahan.”
Di abad ke-21 ini, minimalisme merupakan filosofi yang multi-fungsi dan masuk
akal baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbisnis.

Minimalisme
dalam desain menjauhkan mata dari kepenatan, dalam berbisnis menurunkan
pengeluaran dan meningkatan profit, dalam berkarya memberikan lebih banyak
ruang bergerak, dalam kehidupan sehari-hari mengurangi sampah dan menghargai
ekologi hijau. Lebih banyak manfaat yang kita dapat dengan meminimalkan konsumsi
materi yang tangible, meminimalkan
gaya, meminimalkan sumber daya, meminimalkan kepemilikan yang memakan ruang dan
biaya perawatan, dan meminimalkan sampah alias waste dari berbagai kegiatan. 

Desain
yang minimalis memproyeksikan “kelapangan” dan “kejernihan.” Ekspresi “simpel
itu indah” di beberapa kultur tertentu, seperti di negara-negara Skandinavia
yang terkenal dengan “minimalistic design”-nya yang tercermin dalam
produk-produk IKEA dan di Silicon Valley dengan produk-produk Apple, sudah menjadi
gaya hidup dan gaya bisnis.

Desainer
fashion kondang Calvin Klein, Donna Karan, dan Ellen Fisher dari New York City
menggabungkan minimalisme dengan fungsi yang elegan. Para desainer kondang ini
juga dikenal dengan kesuksesan mereka dalam melejitkan bisnis bermodal puluhan
ribu USD menjadi beromzet puluhan juta USD per tahun. 

Para
creative entrepreneurs alias startup creators umumnya sangat mengenal
filosofi bisnis ini. Bahkan mereka yang sudah sangat berhasil pun, seperti Tony
Hsieh dengan Zappos-nya, bergaya hidup minimalis dengan hanya menyimpan
beberapa pasang sepatu di lemarinya, sangat kontras dengan bisnis online-nya
yang dimulai dengan menjual sepatu.

Aaron
Patzer menjual perusahaan startup-nya seharga USD 170 juta dan ia masih tinggal
di apartemen satu kamar seluas 60 meter persegi. Tidak jarang saya berpapasan
dengan para USD billionaires yang
bergaya hidup bersahaja, sangat terbalik dengan kontras para penganut Wall
Street culture yang heboh mengendarai Rolls Royce dan Ferrari ke mana-mana.

Minimalisme
sebagai kultur dan filsafat bisnis sangat sesuai untuk mengantisipasi krisis
global, ancaman ekologi, design fatigue, dan
kepenatan akan hal-hal yang materialistis. Para ahli personal finance juga mendukung gerakan ini sebagai upaya nyata
penghematan dan filsafat menabung.

Dalam
skala luas, semakin sedikit konsumi materi tangible,
semakin besar budget yang dimiliki untuk meningkatkan pendidikan,
pelatihan, dan penambahan ilmu pengetahuan lainnya. Pergeseran dari masyarakat
manufaktur menjadi masyarakat pasca-industri bisa dipercepat.

Di
Indonesia, mungkin konsep minimalisme ini masih belum cukup populer. Di
kota-kota besar, malah konsep maksimalisme masih populer, yang bisa dibaca dari
tergila-gilanya masyarakat urban akan merek-merek luar negeri yang branded. Materialisme memang bisa
menjadi penggerak ekonomi, namun ini adalah penggerak ekonomi yang bermuatan
hutang sosial (social debt) karena
pengambilan sumber daya alam yang sulit diperbaharui. 

Dalam
masyarakat minimalis, ekonomi digerakkan dengan produk-produk hak atas kekayaan
intelektual yang bisa diduplikasikan dengan hutang sosial minimal. Tentu dengan
produk-produk desain bergaris simpel, masih akan tercipta banyak materi tangible, namun kualitas menjadi
prioritas daripada kuantitas. 

Walaupun
kedengarannya utopis, minimalisme bisa menjadi penggerak ekonomi, penambah
cadangan tabungan, daya jual luar biasa, dan peningkat produktivitas. Secara
psikologis, kesederhanaan grafis memberikan rasa tenang yang mampu memberikan
kejernihan berpikir dan berkreasi.

Dalam
bisnis startup maupun yang sudah berjalan, misalnya mengurangi penggunaan
kertas, bisa menurunkan pengeluaran dan meningkatkan efisiensi.

Minimalisme
bisa dimulai dengan cara-cara sederhana dengan top-bottom. Seorang CEO yang
hidup sederhana dan minimalis dapat menginspirasikan para karyawan untuk
berbuat serupa. Gunakan waktu dengan efisien, misalnya menggunakan struktur
rapat yang cepat dan berderap dengan ritme dalam hitungan menit, daripada jam,
bisa membentuk kultur organisasi baru.

Seorang
CEO yang menggunakan kamar mandi bersama dengan karyawan lain, misalnya, sudah
memberikan contoh minimalisme dalam gaya hidup. Tidak perlu kemewahan ekstra,
yang penting adalah kualitas kebersihan. Ini bisa menjadi cerminan bagi seluruh
anggota organisasi.

Minimalisme
dapat diterapkan sebagai filsafat yang mendasari aktivitas, protokol, desain, gaya
hidup, kultur organisasi, hingga pengambilan keputusan. Simpel itu indah.
Sedikit itu banyak. Sederhana itu kaya.[]

KONTAN Daily, Jumat 1 Februari 2013

Pin It on Pinterest

Share This