Select Page

surfer450

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN Weekly Best-Best Bukan Win-Win]

oleh Jennie M. Xue

Gerakan Occupy Wall Street yang dimulai 2011 lalu kini mempunyai “teman seperjuangan” yaitu para eksekutif dan pebisnis yang menjalankan gerakan Best-Best alias “doing the most good.” Melakukan yang terbaik dalam setiap aktivitas bisnis dan pekerjaan.

Yang dimaksud dengan “terbaik” di sini bukan hanya dalam performance kerja, namun apa yang terbaik dalam konteks altruistik. Sebagai contohnya, seseorang yang performance kerjanya baik, belum tentu mempunyai karakter dan gaya komunikasi yang baik pula dengan orang lain, termasuk para stakeholder.

Dalam konteks altruistik, seseorang yang jujur, tidak korup, tidak menyakiti orang lain, dan sering berderma merupakan “default state” alias keadaan minimal. Apabila kita telah hidup melampaui batas kemiskinan, seperti para kelas menengah, semestinya kemampuan untuk bergerak lebih besar. Bukan hanya dari segi finansial. Tapi dari segi etika.

Hidup dengan etika terbaik selalu mempertimbangkan orang lain, baik yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan kita. Sebagai contoh, kita perlu selalu menghargai orang lain untuk waktu dan hal-hal intangible lain yang mereka berikan, seperti informasi dan advis berdasarkan pengetahuan. Hal-hal seperti ini seringkali diabaikan.

Biasanya “mereka yang tidak tahu” tidaklah tahu bahwa mereka “tidak tahu.” Misalnya, seseorang yang tidak bisa berenang tidaklah tahu apakah ia akan suka atau tidak suka berenang ketika ia bisa berenang suatu hari. Hal yang sama juga berlaku dengan mereka yang belum atau tidak bisa memasak, berbahasa asing, dan lainnya.

Ini menyebabkan “mereka yang tidak tahu” tidak bisa membayangkan secara intelek bahwa informasi yang mereka terima sangatlah berharga. Demikian pula mereka yang tidak bekerja mungkin akan sulit mengerti bahwa waktu sangatlah tinggi nilainya dan sangat perlu dihargai tinggi.

Berita baik terkini yang perlu kita catat adalah: generasi milenial internasional merupakan generasi yang peka akan berbagai bentuk altruisme. Mereka merupakan generasi “pribumi digital” (digital native) dengan kepekaan akan aktivisme dan situasi politik global yang bisa dengan mudah diakses via Internet. Hal yang sama bisa kita perhatikan di antara para generasi milenial urban Indonesia. Peniup peluit terkemuka seperti Edward Snowden merupakan superhero generasi muda modern.

Gerakan filantropi global merupakan industri dengan volume USD 200 miliar per tahun (sekular) ditambah dengan USD 100 miliar yang disumbangkan kepada organisasi-organisasi berdenominasi (non-sekular). Ini merupakan berita baik di tengah inekulitas terbesar abad ini di mana satu persen populasi dunia menguasai 48 persen ekonomi global di tahun 2014. Angka penguasaan ekonomi diprediksi oleh World Economic Forum akan meningkat menjadi 99 persen dalam beberapa tahun di muka.

Altruisme efektif kini merupakan kebutuhan untuk kelangsungan hidup bumi dan isinya secara berkesinambungan. Dan korporasi perlu menyadari bahwa sebagian besar kekuasaan untuk melakukan perubahan ada di tangan mereka, bukan di tangan para filantropis dan aktivis.

“Aturan main” korporasi sudah saatnya tidak hanya memperhatikan profit sesaat dan jangka pendek, namun kelangsungan hidup umat manusia dalam kualitas hidup yang baik, bukan hanya “sekedar bertahan hidup.” Inekualitas global telah mencapai tahap memuakkan, bukan hanya memprihatinkan.

Sebentar lagi, satu persen dari populasi dunia menguasai 99 persen kekayaan ekonomi. Ketika hari tersebut tiba, kita akan merasakan penderitaan yang melebihi era sebelum Revolusi Perancis 1789-1799. Bukan lagi kita merasakan “tale of two cities” tapi “tale of two planets.”

Sadarlah. Kini sudah bukan waktunya lagi untuk mempunyai timbunan finansial yang luar biasa dengan mengorbankan kualitas hidup orang lain dan generasi masa depan. Kini adalah waktunya untuk berbuat best-best, bukan hanya win-win.

Winning doesn’t mean anything if the whole world collapses. Menang tidaklah ada artinya apabila seluruh dunia runtuh.

Altruisme sebagai gerakan sosial dan filosofi sudah saatnya diterapkan dengan sadar dalam dunia bisnis dan kultur korporasi. Kapitalisme klasik menerapkan “egoisme” yang bermuara kepada pencapaian profit bagi diri sendiri walaupun berarti merugikan orang lain.

Bayangkan saja betapa satu keping hamburger seharga USD 3 mempunyai hutang sosial luar biasa hingga mencapai ribuan USD mengingat berbagai masalah kesehatan dan lingkungan yang disebabkannya? Berapa hutang sosial produk yang diproduksi oleh bisnis Anda? Mampukah Anda menanggungnya?[]

KONTAN Weekly, 8-14 Juni 2015

Pin It on Pinterest

Share This