Select Page


[Download PDF KONTAN DAILY Berpikir di Era Pasca-Kebenaran]

oleh Jennie M. Xue

Di era digital serba instan ini, tidak mudah untuk membedakan yang sesungguhnya dengan yang palsu, fakta dengan opini, dan yang benar dari yang hasil karangan. Ditambah lagi dengan kondisi sosial di mana individu berpendidikan di bawah SMA lebih banyak daripada yang berpendidikan di atas SMA, Indonesia adalah ladang yang subur bagi kepalsuan dan kebohongan.

Padahal, baik sebagai pebisnis maupun individu, kebenaran alias “the truth” sangat penting dalam bisnis, pekerjaan, dan kehidupan pribadi. Lantas, bagaimana kita dapat membedakan mana yang baik dan benar dengan yang salah dan buruk?

Dalam artikel ini, konteks “benar” dan “salah” bukanlah dari segi moral, namun dari perspektif “the truth” dan “no the truth.” Jadi, jangan dibayangkan “benar” di sini adalah sebagaimana dalam moral yang baik dibenarkan dan “salah” dalam moral yang baik disalahkan.

“The truth” di sini mempunyai makna “sebenarnya” alias “bukan hoaks” dan “not the truth” di sini punya arti “tidak yang sebenarnya” alias “hoaks” atau “hasil pikiran fiksi.”

Anda pasti pernah menerima info-info tentang demo, kejadian kekerasan, dan kematian yang ternyata palsu alias hoaks. Juga, Anda pasti pernah mendengar kabar produk-produk palsu yang dijual dengan harga produk asli.

Begitu banyak informasi palsu dan kebohongan di sekitar kita, lantas bagaimana kita harus berpikir? Bagaimana cara kita mengenali dan mengatasinya?

Satu, melek media.
Mayoritas penduduk Indonesia melek huruf. Artinya bisa baca tulis dan punya kemampuan fungsional intelek yang cukup untuk mampu menggunakan berbagai gadget modern, termasuk telpon genggam dan komputer desktop dan tablet.

Namun “melek huruf” bukan merupakan jaminan “melek media.” Yang kedua ini mempunyai arti yang tidak hitam-putih, karena seseorang yang melek media belum tentu kenal betul cara kerja media dan efek-efek dari narasi yang disajikan via media. Dan “media” di sini tidak terbatas dengan TV dan radio, namun sosial media dan Internet secara keseluruhan.

Dua, kepekaan.
Perlu kepekaan untuk mampu membedakan satu narasi atau platform yang telah dimodifikasi dengan intensi-intensi tertentu. Untuk itu, asah kemampuan membedakan sesuatu dengan versi-versi lainnya. Terkadang, perbedaan-perbedaan kecil tidak dianggap atau diremehkan.

Tiga, kemampuan memverifikasi.
Untuk berita-berita yang tampaknya “seperti sungguhan” namun kok ada yang “mengganjal,” lakukan verifikasi dengan sumber-sumber yang tidak dapat lagi diragukan keasliannya. Dan jangan membatasi diri akan hal-hal yang “mengganjal” saja. Terkadang kita perlu memverifikasi hal-hal yang kedengarannya “pasti benar,” karena di era pasca-kebenaran ini, hal-hal yang kedengaran sungguhan pun bisa jadi hanya fiksi.

Empat, logika.
Bedakan korelasi dengan kausalitas. Jangan terjebak dengan korelasi sebagai kausalitas. Ini adalah logika yang salah. Sering kali, para konsultan politik yang penuh tipu-muslihat menggunakan korelasi untuk membangun narasi ngaco yang tidak ada kebenarannya sama sekali. Ini dapat kita observasi dengan jelas selama masa kampanye pilpres dan pilkada, misalnya.

Lima, latih diri.
Melatih diri setiap saat ketika membaca berita, mendengar podcast, menonton video, dan menjawab teks WhatsApp merupakan kunci untuk membiasakan diri akan “mana yang benar/asli/sesungguhnya dengan yang salah/palsu/fiksional.” Ini membutuhkan kedalaman dalam berpikir.

Sesuatu atau seseorang tidak hanya apa yang diproyeksikan dan terproyeksikan, namun apa yang ada di balik itu semua. Belajar “membaca” apa yang tidak tertulis membutuhkan lebih dari sekedar melek media, kepekaan, verifikasi, dan logika, namun sangat membutuhkan kesungguhan dari dalam diri.

Anda perlu menggunakan pikiran untuk memilah-milah informasi dan dimensi tumpang tindih yang sering kali dipandang rata dan satu dimensi. Ingat, segala sesuatu mempunyai perspektif multipel dan apa yang terlihat tidak semata-mata demikian.

Akhir kata, gunakan daya pikir Anda sebaik mungkin di era digital serba instan dan penuh hoaks ini. Dengan mengenali mana yang sesungguhnya dan tidak terkelabui korelasi (bukan kausalitas), pekerjaan dan tugas-tugas Anda niscaya akan jauh dari noise tidak berguna.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 1 Februari 2019

Pin It on Pinterest

Share This