Select Page



[Download PDF KONTAN DAILY Bergugurannya Maskapai Penerbangan Eropa]

oleh Jennie M. Xue

Lima tahun terakhir ini merupakan periode gemilang bagi industri maskapai penerbangan internasional dengan omzet gabungan per tahun mencapai USD 160 miliar. Anehnya, masa emas dunia aviasi ini tidak menjamin bertahannya beberapa maskapai penerbangan Eropa.

Dalam lima tahun ini pula, kolapsnya beberapa maskapai penerbangan merupakan anomali yang perlu kita pahami. Bagaimana kejadiannya dan apa saja penyebabnya? Mari kita simak.

Satu, dimulai di tahun 2017, Monarch mengawali kolaps beruntunnya maskapai penerbangan Eropa. Tidak lama kemudian, Air Berlin maskapai Jerman dengan 8.000 pegawai kolaps.

Setahun kemudian, Primera Air dan Cobalt Air menyusul jejak mereka. Tahun 2019 ternyata merupakan tahun pembantaian besar-besaran dengan kolapsnya WOW Air (Iceland), Aigle Azur (Perancis), XL Airways (Perancis), Adria Airways (Slovenia), dan Thomas Cook Airlines (Inggris).

Dua, neksus Eropa dari maskapai-maskapai tersebut merupakan jawaban kolaps mereka. Jalur-jalur penerbangan mereka terbatas di belahan bumi Utara dengan pola iklim musim panas di bulan Juni, Juli, dan Agustus.

Berbeda dengan Qantas (Australia) yang melayani rute-rute belahan bumi Utara dan Selatan di mana musim panas dan dinginnya terbalik. Maskapai Eropa yang kolaps tersebut terbatas rute-rute Atlantik belaka, sehingga penjualan tiket mengalami pasang surut yang sangat tajam.

Maskapai-maskapai asal Amerika Serikat dan Asia Pasifik juga menikmati kestabilan omzet mengingat rute-rute mereka yang melayani penerbangan bisnis regional, sehingga tidak perlu mengandalkan musim panas dan masa-masa liburan anak sekolah dan hari-hari raya belaka.

Tiga, kecuali WOW Air yang kolaps di bulan Maret, maskapai-maskapai tersebut tutup pintu di bulan September dan Oktober. Fakta ini terjadi mengingat bisnis maskapai Eropa sangat seasonal alias tidak stabil setiap bulan.

Cash flow mereka cukup besar dalam hanya enam bulan dari 12 bulan dalam satu tahun. Namun mereka perlu terus bertahan dengan kondisi cash flow pas-pasan di enam bulan berikutnya.

Biasanya, setelah September, bisa dipastikan maskapai penerbangan mengalami kesulitan dalam pembiayaan operasional (seperti bensin dan maintenance pesawat), membayar gaji pegawai dan hutang-hutang bank.

Begitu mereka tidak membayar hutang bank, pesawat bisa disita sehingga rute-rute tertentu tidak dapat berjalan. Dengan cancelled flights, mereka perlu mengganti kerugian pelanggan dan biaya penginapan hotel mereka.

Empat, Hukum Kepailitan Eropa tidak memberi kesempatan bagi perusahaan maskapai untuk merestrukturisasi operasi bisnis mereka. Ini berbeda dengan Bankruptcy Law di AS di mana ada perbedaan antara kepailitan versi Chapter 7, Chapter 11 dan Chapter 13 yang masih memberi kesempatan restrukturisasi sebelum menutup pintu untuk selamanya.

Thomas Cook Airline (UK), sebagai contoh, terpaksa secara tiba-tiba menghentikan operasi pada tanggal 23 September 2019 tanpa peringatan sebelumnya. Ini dikarenakan volatilitas bisnis aviasi dan Hukum Kepailitan Inggris yang tidak memberi kesempatan restrukturisasi.

Lima, ekonomi makro yang sangat baik dan daya beli konsumen yang meningkat merupakan salah satu alasan mengapa maskapai-maskapai penerbangan bisa bertahan lama. Namun, pada akhirnya, kemampuan bertahan sangat ditentukan oleh jumlah profit yang didapat.

Wow Air, Thomas Cook Airlines, XL Airways, dan Air Berlin, mentargetkan pasar perjalanan jauh (long haul) dan low cost. Model bisnis ini tergolong baru dan masih belum teruji. Jadi, bahkan ketika ekonomi global sangat menjanjikan, ternyata profit masih belum mencukupi untuk cashflow jangka panjang.

Di Asia dan Australia, kita kenal Air Asia, Jetstar dan Scoot yang merupakan low-cost dan long-haul airlines. Ternyata, mereka dapat berhasil jangka panjang antara lain karena rute-rute mereka yang kebal musim dan melayani perjalanan bisnis regional.

Di tahun 2014 ketika harga bensin turun drastis, low-cost carrier tersebut mengalam ekspansi besar-besaran yang terjadi secara natural. Namun di tahun 2017 ketika harga bensin kembali meningkat, pilihan mereka adalah tetap mempertahankan harga dan market share atau mengambil profit namun mengurangi market share.

Harga tingginya bensin ini menjadi faktor pemicu terakhir bagi maskapai-maskapai Eropa untuk menutup pintu selama-lamanya. Akhir kata, menjalankan bisnis maskapai penerbangan tidak mudah.

Ini adalah bisnis beresiko tinggi, diregulasi mendalam, cash flow fluktuatif, dan fixed cost tinggi. Ketika para investor mengucurkan dana segar dalam jumlah besar untuk menambah armada pesawat, ruang gerak antar maskapai menjadi semakin sempit dan kolaps tidak dapat lagi ditangguhkan.

Pelajaran maskapai penerbangan Eropa ini semoga berguna bagi maskapai-maskapai Asia lainnya.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 13 Desember 2019

Pin It on Pinterest

Share This