Kekuasaan kilat berada di tangan mereka untuk melakukan framing alias 'propaganda' langsung (direct propaganda).
CALIFORNIA, Jaringnews.com - Bagi yang mengira propaganda hanya terjadi di negara-negara sosialis-komunis–seperti Cina di era Mao Zedong dengan berbagai atraksi kulturalnya yang sarat dengan nuansa komunisme–sebaiknya berpikir kembali. 'Indonesia negara demokrasi, sehingga tidak ada propaganda' adalah suatu pendapat yang salah.
Tidak perlu suatu pesan politik disampaikan dengan eksplisit sambil berseragam dan bergaya tertentu. Pesan-pesan politik tidak hanya dilakukan secara terus terang dengan perbuatan (action), namun juga tidak dengan perbuatan (inaction). Pesan-pesan politik bisa juga disampaikan tidak dengan isi (konten) namun juga saluran distribusinya (channel). Pesan-pesan politik bisa disampaikan tidak dengan 'apa' (what) namun juga oleh 'siapa' (why).
Pada dasarnya, suatu model propaganda terjadi sesimpel ini: apa yang diproyeksikan sebagai pendapat umum (mainstream) di dalam media dan kultur popular sehingga diartikan sebagai objektif (unbiased) sebenarnya sudah tidak objektif (biased) dan mempunyai muatan tertentu. Suatu pandangan menjadi mainstream karena diterima banyak orang sudah demikian atau sudah terpengaruhi.
Batu ujiannya adalah: suatu pandangan di tempat A, jika dibawa ke tempat B, belum tentu menjadi pandangan yang diterima umum.
Kekuasaan (power) yang mengendalikan pesan-pesan di era real-time ini adalah para pemilik media yang menentukan apa, siapa, bagaimana, dan kapan suatu pesan aktif (action) dan pesan pasif (inaction) disampaikan. Tentu saja, dengan menggunakan social media, misalnya Twitter dan Facebook, para pemilik akun sebagai pemilik pesanlah yang menikmati posisi sebagai pemilik media. Sangat jelas terlihat ketika 'kultwit' alias kuliah twitter oleh para intelektual anggota partai dan para politikus aktif disampaikan dengan gencar setiap hari. Kekuasaan kilat berada di tangan mereka untuk melakukan framing alias 'propaganda' langsung (direct propaganda).
Dalam Manufacturing Consent oleh Noam Chomsky dan Edward Herman, yang dimaksud dengan propaganda di Amerika Serikat dilakukan dengan 'permission to debate, to criticize, to dissent'sepanjang mereka tetap setiap di dalam sistem dan prinsip-prinsip yang dibentuk dengan konsensus para elit. Sistem ini demikian berkuasa sehingga terinternalisasi tanpa disadari. Dengan kata lain, propaganda dilakukan di dalam bingkai 'kebebasan', di mana setiap warga diberikan hak untuk berpendapat berbeda, bahkan melawan sepanjang di dalam batas-batas konsensus publik.
Di dalam suatu masyarakat modern, ada lima faktor filtrasi yang diutarakan oleh Chomsky dan Herman: 1) ukuran, kepemilikan, dan orientasi profit institusi media massa, 2) iklan sebagai sumber pemasukan media, 3) ketergantungan media terhadap pemerintah, bisnis, dan para ahli yang dibayar dan disetujui para 'agents of power', 4) metode pendisiplinan media yang bertentangan dengan konsensus elit, dan 5) penggunaan 'anti' terhadap suatu ideologi yang bertentangan sebagai mekanisme kontrol.
Silakan menggunakan bingkai di atas untuk menganalisa Indonesia. Masihkah Anda berkata bahwa di alam Indonesia yang demokratis ini, tidak ada 'propaganda'? Karena sesungguhnya, propaganda sangat mudah dijumpai di mana-mana, termasuk di layar smartphone Anda dan oleh mereka yang Anda 'follow' di Twitter.[]
Jaring News, 31 Maret 2012