[Download PDF KONTAN Weekly Belanja Online dan Offline]
oleh Jennie M. Xue
Disrupsi (disruption) dan traksi (traction) merupakan kunci pertumbuhan eksponensial dalam ekonomi global saat ini. Ini menjawab mengapa startup-startup kelas dunia dievaluasi bernilai miliaran USD, seperti Slack, Stripe, Blue Apron, Coinbase, dan Snapchat.
Disrupsi yang terjadi jelas berasal dari aktivitas “digital” mengingat penjualan online sudah menjadi bagian dari pemasaran dan pengembangan bisnis. Dalam pembahasan-pembahasan bisnis, penulis menggabungkan aktivitas offline dan online. Keduanya telah menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi dari segi fungsi (feature) maupun nilai tambah (value added).
Menurut McKinsey Insight, ada enam tren digital yang mampu mengguncangkan industri teknologi, telekomunikasi, dan media.
Satu, perpindahan dari layar komputer ke layar mobile dan touch screen. Dua, perpindahan dari pengiriman suara ke data dan video. Tiga, perpindahan dari bundel ke satuan. Empat, perpindahan dari fokus kepada pertumbuhan ke monetisasi/kapitalisasi. Lima, perpindahan dari konten yang disediakan ke user-driven termasuk user B2B (business-to-business). Enam, perpindahan dari kategorisasi distribusi ke pengalaman unik (industri silang).
Mengingat ekonomi global saling berkaitan dengan erat, tren-tren ini diprediksikan akan mengguncangkan berbagai industri. Termasuk industri retail department store dan supermarket yang sampai saat ini penjualan tertinggi masih dipegang di toko-toko yang hadir secara fisik. Keenam tren ini dapat berjalan bersama maupun terpisah dalam berbagai industri.
Salah satunya, perpaduan dunia online dengan dunia nyata semakin tumpang tindih. Di dalam stasiun kereta bawah tanah (subway atau MRT) di Seoul, Korea Selatan, layar sentuh raksasa di dinding memungkinkan pelanggan memesan berbagai produk sehari-hari dari Tesco (Homeplus.co.kr) Supermarket. Belanjaan bisa diambil atau dikirimkan ke rumah.
Di stasiun-stasiun MRT Singapura, misalnya, iklan-iklan restoran lengkap dengan alamat situs dan nomor telpon mereka menggiurkan konsumen yang bergegas pulang. Bisa saja dengan memesan via aplikasi Whatsapp, dalam sekejap pesanan sudah diantarkan ke kondominium.
Di Manhattan, New York City, tren baru butik-butik pakaian modis papan atas di Fifth Avenue telah menggabungkan kenyamanan berbelanja online dengan kenyamanan berbelanja di butik berinterior desain cantik dan elegan. Touch screen monitors terpasang dengan indah di dinding, lengkap dengan layar dan tombol raksasa yang memudahkan pemesanan produk fashion. Begitu tombol “submit” ditekan, blus cantik dengan ukuran sesuai tubuh pelanggan pun dikirimkan ke dalam “dressing room” alias “kamar ganti.”
Di AS sendiri, Amazon Fresh dan Google Express semakin mengaburkan batas antara belanja online dan offline. Kebiasaan berbelanja produk makanan, minuman dan sehari-hari lainnya bisa saja semakin “dimanjakan” dengan klak-klik keyboard dan geser-menggeser layar tablet.
Dalam satu hingga dua jam saja, produk konsumsi sehari-hari seperti sayuran, makanan, minuman, dan produk lain yang dibeli online akan diantarkan dengan mobil truk khusus. Untuk sementara, hanya di kota-kota besar saja yang dilayani, seperti San Francisco Bay Area dan Silicon Valley, Los Angeles, dan New York City.
Bandingkan dengan Webvan yang telah lama bangkrut. Konsep sama namun belum berhasil di tahun 2001. Industri kebutuhan sehari-hari di AS mencapai USD 603 miliar dengan profit margin 1.1 persen dan hanya 1,3 persen yang berasal dari online revenue. Amazon Fresh dan Google Express mengenali kesempatan besar ini dan bisa jadi online revenue pembelanjaan produk-produk konsumsi menaik tajam dalam beberapa tahun di muka.
Di Indonesia, Sukamart.com baru mencapai Gelombang Pertama online retailer produk-produk konsumsi sehari-hari. Gelombang Kedua menggabungkan antara kenyamanan berbelanja online dengan offline, di mana produk-produk segar pun seperti sayur-mayur dan daging segar bisa diantarkan dalam satu jam atau diambil langsung oleh konsumen di outlet retailer.
Uniknya, CEO Amazon Jeff Bezos mempekerjakan Doug Herrington, Peter Ham, Mick Mountz dan Mark Mastandrea yang pernah memimpin Webvan. Pengalaman gagal di sana dijadikan benchmark “terbalik” di mana “apa yang sebaiknya tidak dilakukan” dapat dicarikan solusinya. Serta berbagai masalah dan isyu yang biasanya dialami oleh toko-toko retail jadikan benchmark solusi.
Disrupsi digital yang mengaburkan antara bisnis retail online dan offline memberikan fitur ekstra dan nilai tambah yang diharapkan oleh para konsumen. Ketika dunia bisnis online dan offline telah menjadi satu kesatuan bulat, “disrupsi” bermetamorfosis menjadi “traksi” eksponensial. Kini sudah saatnya.[]
KONTAN Weekly, 20-26 April 2015