KONTAN Daily Upaya Kebangkitan Motorola
oleh Jennie M. Xue
Untuk telpon genggam, nama Motorola semakin merosot, sedangkan Samsung kian nyaring, Lenovo semakin lantang, dan Nokia masih terdengar sayup-sayup. Padahal, Motorola merupakan pionir telpon genggam sejak bermodel bak batu bata yang tebal dan lebar.
Untuk mengatasi persoalan pertumbuhannya, Motorola mendirikan perusahaan spin-off Motorola Mobility, yang telah diakuisi oleh Google dan diberi nama baru Motorola Solutions. Apa saja sepak terjang Motorola dan Google dalam mengembalikan pangsa pasar mereka?
Motorola Mobility memproduksi dan mendistribusikan 6,5 juta unit dalam kuartal pertama 2014, yang merupakan kenaikan 61 persen dari tahun yang sama. Dan jumlah ini merupakan 2 persen dari pangsa pasar bahkan merugi USD 198 juta di kuartal yang sama. Mereka juga telah memPHK 17.000 pekerja.
Dua puluh tahun lalu, Motorola berharap untuk merajai pasar Tiongkok dengan berbagai inovasi mereka, Six Sigma system, dan first mover advantage sebagai bisnis telpon genggam pertama yang melakukan penetrasi. Namun berbagai masalah dan kompetisi internal ternyata malah membawa kerugian jangka panjang. Tidak ada “too big to fail” karena tampaknya bahkan “si besar pun tidak imun dari hal-hal yang tidak terduga.”
Paul Galvin dan Joe Galvin mendirikan Motorola di tahun 1928 sebagai Galvin Manufacturing Corporation. Mereka memproduksi radio mobil masal. Setelah kematian istrinya, Paul Galvin meng-go public-kan Motorola dan di tahun 1956, ia digantikan oleh putranya Robert Galvin. Si Bob inilah yang mengglobalkan merek Motorola dan meningkatkan revenue tahunan dari USD 290 juta ke USD 11 miliar sehingga ia menjadi Top 50 Companies di AS.
Bob Galvin menciptakan kultur kompetitif di dalam perusahaan. Dengan dua divisi yaitu komunikasi dan semikonduktor, kompetisi diharapkan mempercepat pertumbuhan perusahaan. Dan sesungguhnya memang pada awal masa kejayaannya, Motorola terbantu dengan kultur ini.
Bahkan Motorola pernah mensuplai chip untuk Apple. Dan management system berbasis TQM bernama Six Sigma juga diciptakan dan dibangun oleh Motorola. Merek Motorola semakin berkibar di dunia bisnis dan manajemen. Six Sigma System ini mampu membangun kualitas 99.9999666 persen sempurna untuk setiap unit produk, sehingga sistem ini diadopsi oleh perusahaan-perusahaan Fortune 500.
Di tahun 1980an, Motorola berhasil mendirikan pabrik di Tiongkok atas syarat harus melakukan transfer knowledge kepada para suplair dan pekerja bagaimana membangun produk yang baik untuk pasar global. Dengan kesadaran bahwa suatu hari Tiongkok pasti akan membuat produk sendiri dan menjadi kompetitor mereka, Motorola tetap penetrasi ke sana mengingat besarnya pangsa pasar.
Di sinilah benih kehancuran Motorola mulai tertanam, selain pertarungan internal dan kultur perusahaan yang tidak sehat. Para eksekutif atas Motorola dikenal dengan budaya super mewahnya, selain office politics yang cukup mengerikan.
Dengan status merugi $68 juta di kuartal lalu, Google sebagai pemilik Motorola Mobility sedang bernegosiasi dengan Lenovo. Google membeli Motorola seharga USD 12,5 miliar dan ia menjualnya ke Lenovo seharga USD 2,9 miliar. Mengapa murah? Karena Google tidak menjual hak-hak paten dan karya-karya terbaru yang belum dipasarkan ke publik.
Prediksi Lenovo yang akan semakin besar dengan masuknya Motorola, mereka akan berhasil penetrasi ke pasar AS, mengingat selama ini Lenovo mengalami kesulitan. Dan dalam 12 hingga 18 bulan saja, maka profitabilitas bisa semakin baik. Motorola Solutions membidik B2B sehingga ada pembagian pasar dan mengurangi perseteruan internal.
Motorola pernah berjaya, mari kita amati apakah ia akan berhasil berjaya kembali dalam 1-2 tahun di muka. Dengan pembaharuan kultur organisasi ala Lenovo yang multikultural dan kuat dalam kerja tim, kita harapkan perbaikan berjalan mulus.[]
KONTAN Daily, Jumat, 14 November 2014