Select Page

  Kontan

Download KONTAN Daily Belajar dari Sony Kodak

oleh Jennie S. Bev (sekarang dikenal sebagai Jennie Maria Xue)

Salah satu pembaca setia tulisan-tulisan saya bertanya, “Mengapa Jepang masih investasi ke berbagai negara padahal mata uangnya sedang melemah dan ekonominya sedang tidak stabil?” Saya jawab, “Karena filsafat bisnis Jepang berorientasi jangka panjang daripada keuntungan jangka pendek.” Filsafat ini bisa dibaca juga dari cara kerja dan manajemen Sony.

Sebelum iPod dan iTunes-nya Apple merajai dunia dan mengubah cara mendengarkan musik, ada Sony Walkman. Sekarang, merek Sony masih bisa kita temui dalam bentuk laptop, kamera digital, dan Sony Music. Namun gaung Sony sangat jauh ketinggalan merek-merek lainnya, seperti Samsung, Apple, LG, Panasonic, dan HTC.

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa sejak 2008, Sony tidak lagi menghasilkan keuntungan (profit) bagi para pemegang saham. Uniknya, menginjak tahun ke-lima nirlaba, Sony masih saja eksis.

 

Sekali lagi, eksisnya Sony karena filsafat bisnis Jepang yang memperhitungkan visi jangka panjang. Selain itu, Jepang juga mengutamakan loyalitas dan eksistensi merek daripada semata-mata mencari keuntungan belaka. Mungkin ini kedengarannya agak tidak masuk akal: Kok bisnis tanpa keuntungan masih saja eksis? Mengapa tidak ditutup saja perusahaan atau “dibangkrutkan”?

Eastman Kodak telah dalam proses Chapter 11 Bankruptcy sejak Januari 2012, sebelum bangkit kembali dari status “bangkrut”-nya di bulan Agustus 2013. Ya, hampir dua tahun lalu, manajemen Kodak mendaftarkan diri ke pengadilan untuk merestrukturisasikan kembali hutang-hutang mereka sebelum dinyatakan “bangkrut sepenuhnya” atau “ke luar dari kebangkrutan.” Kodak menyatakan diri “bangkrut” dengan dalih hutang USD 6.75 miliar yang diakibatkan oleh biaya pensiun luar biasa tinggi dan opportunity cost dari keterlambatannya mengambil bagian dari teknologi kamera digital. Belum lagi kerugian luar biasa yang diderita akibat litigasi dengan Apple atas salah satu patennya.

Pelajaran dari Kodak ini merupakan salah satu kemungkinan arah perkembangan Sony apabila tidak mencapai target keuntungan mereka tahun ini. Untuk 2013, malah diprediksi kerugian akan mencapai USD 6.4 miliar. Lantas, apa sebenarnya masalah utama Sony?

Sony gagal menterjemahkan kebutuhan digital dari kapital analog mereka. Dengan digitalisasi, pergeseran terjadi dari hardward ke software, dan Internet merupakan pasar digital terbesar. Sony terlalu lambat dalam memasuki pasar flat-screen TV, MP3 players, games (dengan PlayStation yang gagal) dan pengembangan software. Bahkan kini Microsoft sudah semakin mengambil market share Sony. Kesalahan lain Sony adalah mengutamakan pengembangan hardware yang ternyata terbentur juga dengan berbagai kelemahan. 

Sesungguhnya sebelum Apple mengeluarkan iPod, Sony sudah memiliki teknologi serupa. Divisi engineering Sony belum bersepakat dengan divisi media mereka, sehingga format file musik yang diunduh sangat spesifik dan tidak kompatibel dengan format file umumnya yaitu MP3. Sayangnya, kegagalan memahami peluang ini ternyata perlu dibayar mahal oleh Sony.

Perangkat-perangkat keras seperti kamera digital, televisi, dan kamkoder video produksi Sony  sangat beraneka ragam. Dengan 10 hingga 30 macam setiap kategori perangkat keras, pilihan terlalu beragam sehingga membingungkan konsumen. Kegagalan untuk fokus juga merupakan salah satu alasan kegagalan Sony. 

Kodak telah bangun dari “tidur sementara”-nya sebagai perusahaan digital imaging kecil, tidak lagi sebagai raksasa fotografi. Kodak memegang peran baru dengan ekspektasi profit USD 2.5 miliar saja. Untuk “bangkit” kembali, perusahaan ini melepaskan bisnis-bisnis fotografi yang telah menjadi “trademark” mereka. Misalnya, 105.000 kios foto mereka kita dimiliki oleh Divisi Pensiun Kodak, yang merupakan badan hukum tersendiri.

CEO Kodak yang baru Antonio Perez berkata bahwa kini mereka fokus ke industri packaging, printing, dan graphic communication. Transformasi dan restrukturisasi telah dilakukan dengan kapital ramping, neraca bisnis yang sehat, dan teknologi terbaik di industri. Aset mereka juga telah dijual sebesar USD 695 juta dan mendapatkan suntikan dana segar USD 406 juta. 

Baik Sony maupun Kodak sama-sama mengalami keterlambatan dalam memasuki industri yang sangat cepat berubah. Inovasi dari kompetitor belum merupakan hentakan yang cukup kuat bagi manajemen untuk mengambil langkah drastis. Loyalitas akan format lama tampaknya malah merupakan jebakan ke masa lampau. Pelajaran utama dari dua kasus Sony dan Kodak ini adalah: Cepat bergerak dan visi inovasi hendaknya mengalahkan loyalitas buta. 

Satu hal yang membedakan dua kasus serupa ini, adalah: Sony memegang prinsip filsafat bisnis Jepang yang berorientasi jangka panjang. Mereka akan terus bertahan di tengah arus perubahan, namun loyalitas akan format lama mungkin sebaiknya ditinggalkan. Mari kita amati Sony dan Kodak.[]

KONTAN Daily, 8 November 2013

Pin It on Pinterest

Share This