oleh Jennie M. Xue
Hampir setiap produsen produk konsumsi perlu me-recall kembali produk mereka ketika terjadi sesuatu yang di luar dugaan sehingga membahayakan kesehatan dan mengancam jiwa konsumen. Dari produk mobil hingga sayuran salad mix di Amerika Serikat pernah direcall secara masif. Recall mobil di Indonesia juga sering terjadi, sebagaimana di belahan dunia lainnya.
Recall adalah penarikan kembali produk yang telah diserap oleh pasar untuk diperbaiki karena ada defek alias cacat bawaan yang bersumber dari fase produksi, baik produksi komponen maupun ketika asembli. Recall mobil dan recall konsumsi pangan cukup menarik perhatian media mengingat bisa mengancam jiwa konsumen.
Di tahun 2010, CEO Toyota yaitu Akio Toyota berbicara di hadapan Kongres Amerika Serikat untuk menyatakan maaf atas recall masif yang perlu dilakukan untuk kepentingan keselamatan konsumen. Dan untuk ini, Toyota dipenalti sebesar USD 1.2 miliar untuk 15 juta mobil yang bermasalah di AS tersebut.
Anthony Rubin analis dari BBC London menyatakan bahwa General Motors (GM) juga cukup banyak me-recall mobil produksi mereka. Masalah GM yang memakan korban 13 jiwa pengemudi berakar dari masalah ignisi. Di ranking ketiga adalah Ford yang juga cukup sering melakukan recall di AS.
David Bailey profesor industri bisnis otomobil dari University of Aston berpendapat bahwa recall masif 10 sampai 30 juta unit menunjukkan terjadinya perubahan dalam struktur mobil dan industri itu sendiri. Misalnya, setiap unit mobil mempunyai puluhan ribu komponen analog dan ratusan komponen digital. Ini saja sudah merupakan perbedaan besar dari produksi mobil-mobil analog beberapa dekade lampau.
Setiap komponen mobil diproduksi oleh manufaktur tersendiri yang menjadi partner Toyota, sehingga QC dan penanganan pasca produksi ditangani oleh setiap produsen. Ini sangat bisa menyebabkan ketidaksinkronan berbagai hal.
Recall yang disebabkan oleh sistem-sistem yang krusial, misalnya akselerator, rem, dan malfungsi pedal, misalnya, sangat urgen serta perlu dilakukan secepat mungkin. Namun, tidak semua defek bawaan perlu sangat urgen, seperti masalah lampu dan asesoris lainnya. Yang tidak urgen ini biasanya bisa diatasi di bengkel-bengkel berotorisasi.
Di tahun 2009, Toyota terlalu lambat dalam bertindak sehingga nilai saham menukik turun secara tajam mencapai 1/3. Transparansi dan penarikan secepat mungkin tanpa perlu menunggu terlalu lama akibat dari birokrasi perusahaan sangat penting agar korban jiwa tidak bertambah. Toyota kini telah memberikan izin bagi kantor lokal memutuskan recall apabila sangat mendesak dan membahayakan keselamatan pengemudi dan penumpang.
Dalam kasus GM, cukup menarik untuk dicatat bahwa nilai saham tidak menukik tajam ketika recall masif dilakukan. Padahal dengan recall 30 juta mobil, diprediksi saham akan menukik turun. Mengapa? Persepsi konsumen bahwa GM bukanlah merek mobil yang berkualitas, sehingga ekspektasi konsumen tidak terlalu tinggi dari awal. Sebaliknya yang terjadi dengan Toyota yang dipersepsikan sebagai produk berkualitas tinggi.
Recall terbuka merupakan salah satu strategi GM yang mengekspos setiap produk defektif sehingga perbaikan bisnis bisa terjadi secara alami segera. Transparansi merupakan best practice bisnis-bisnis raksasa yang sudah teruji sejak dulu. Termasuk dalam industri otomobil.
Menarik dicatat bahwa tidaklah penting berapa banyak recall dari produk defektif yang perlu dilakukan, sepanjang itu dilakukan secara terbuka, profesional, dan cepat. Konsumen mobil tampaknya mengerti akan kerumitan manufaktur sebuah mobil, sehingga seringkali ada defek bawaan yang perlu diperbaiki.
Perbaikan omzet bisa cepat terjadi setelah masa recall selesai, terlepas dari pengeluaran ekstra untuk biaya recall dan penalti yang dikenakan oleh negara penderita recall tersebut sebagai peringatan industri agar berhati-hati. Perbaikan omzet ini seiring dengan kembali pulihnya consumer confidence akan merek mobil tersebut. []
KONTAN Daily, Jumat 17 Oktober 2014