Select Page


[Image Source: Zerohedge]


[Download PDF KONTAN DAILY Belajar dari Keruntuhan Deutsche Bank]

oleh Jennie M. Xue

Deutsche Bank (DB) pernah menjadi tulang punggung ekonomi Jerman. Di tahun 1990an, ia dikenal sebagai investment bank global yang kuat.

Namun DB runtuh karena pengawasan internal yang sub-standar dan para eksekutif yang bergelut dalam manipulasi mata uang dan tax fraud. DB disinyalir perlu membayar penalti sebesar 22 miliar Euro setelah meraup 22 miliar Euro antara tahun 2001 dan 2015.

Kondisi renta DB ini semakin terjungkal di era krisis finansial global satu dekade lampau. Kabar terkini, DB masih tertatih dalam pemulihan kepercayaan dari konsumen dan kekuatan merek.

Pra-krisis, saham DB dipegang oleh korporasi-korporasi raksasa internasional dan jutaan rakyat Jerman. Siapa yang tidak terpikat oleh efisiensi dan reliabilitas bank Jerman?

Di tahun 1995, CEO Hilmar Kopper memutuskan untuk fokus ke perbankan investasi. Dan di tahun 2007, para super trader DB di NYC dan London berhasil mengeruk 70 persen earning.

Sayangnya, manajemen DB hanya memikirkan laba jangka pendek dan minim dalam manajemen resiko. CEO selanjutnya Josef Ackermann malah penuh dengan skandal manipulasi termasuk Libor, alias interbank interest rate.

Ketika Goldman Sachs bermasalah di tahun 2008, debt-to-equity ratio diturunkan menjadi 9:1, sedangkan DB masih saja memegang rasio 25:1. Jadilah DB ditinggalkan para investor, mengingat nilai stok turun 50 persen.

Bagaimana DB dapat pulih kembali?

Satu, mengubah kultur manipulatif menjadi transparan dan berintegritas.
Ini merupakan akar dari segala bentuk manipulasi dan penggelapan. Dengan kultur transparan dan berintegritas, niscaya satu demi satu masalah akan berguguran dan tunas-tunas harapan muncul kembali.

Dua, para pakar ekonomi percaya bahwa DB perlu bantuan pemerintah Jerman. Sayangnya, iklim politik populis Eropa kurang memungkinkan ini dijalankan tanpa tentangan dari mayoritas populasi dan partai yang berkuasa.

Tiga, DB perlu menekan pengeluaran untuk bersaing di era ekonomi digital. DB ibaratnya gajah dengan biaya operasional tinggi, padahal teknologi terkini memungkinkan efisiensi maksimal dengan biaya operasi super rendah. Dengan semakin menjamurnya bank-bank dan institusi-institusi finansial virtual dengan biaya operasional rendah, kompetisi semaking ketat,

Empat, DB perlu memperbaiki credit worthiness rating. Tanpa rating teratas, mustahil bagi bank sekelas DB untuk dapat bertahan, mengingat hutang-hutang mereka merupakan darah yang melancarkan operasi bisnis. Dengan rasio debt-to-equity ratio yang masih 25:1 saja menunjukkan betapa besarnya hutang yang diperlukan untuk memutar bisnis.

Lima, DB perlu mengurangi jumlah pegawai untuk menekan biaya operasional. Di tahun 2018 saja, DB telah mem-PHK 4000 pegawai. Pemulangan pegawai akan berlangsung secara gradual hingga beberapa tahun mendatang.

Merger transformasional dengan rival seperti Commerzbank AG atau bank-bank Eropa lainnya bisa merupakan konduit penting pemulihan bermakna. Namun tampaknya DB masih mengutamakan “daya juang” dari dalam diri sendiri sehingga dapat kembali mengeruk laba.

Satu pelajaran super penting dari kasus DB adalah integritas dan transparansi. Dua hal ini sangat mempengaruhi kultur korporasi.

Ketika seorang CEO dan para VP memanipulasi informasi, mengambil keuntungan pribadi dengan menguasai saham, dan menggelapkan pajak, manajemen telah berubah menjadi ikan hiu yang siap memangsa setiap kesempatan yang dapat diuangkan.

Korporasi yang baik tidak mengambil kesempatan sebanyak-banyaknya namun memastikan filosofi bisnis dijalankan tanpa merugikan konsumen dan stakeholder pendukung. Sebuah bank seperti DB mestinya mempekerjakan tim manajemen yang punya integritas lebih tinggi daripada orang rata-rata.

Jadi, apapun bisnis yang sedang Anda jalankan, pastikan menjunjung etika tertinggi, transparan, dan akuntabel. Karena kepercayaan adalah fondasi terpenting untuk progres. Ketika kepercayaan telah hilang, konsumen dan investor akan meninggalkan Anda untuk selamanya.

Selamanya? Ya, karena manusia cenderung untuk memperhatikan “the last incident” alias insiden terakhir dalam mengambil keputusan untuk mempercayai sesuatu atau tidak.

Ketika suatu merek atau entitas tidak lagi dapat dipercayai, ini jelas merupakan permulaan dari akhir. Membangun merek yang bebas dari noda-noda ketidakpercayaan merupakan tantangan besar dan ini perlu dijalankan dengan kesadaran dari awal. Selamat membangun kepercayaan.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 8 Februari 2019

Pin It on Pinterest

Share This