[Download PDF KONTAN DAILY Bagaimana Uber Mengalahkan Amazon?]
oleh Jennie M. Xue
Setiap entrepreneur perlu mengenali perubahan perilaku konsumen yang disebabkan oleh perkembangan teknologi. Sebaliknya, perubahan perilaku konsumen juga dapat menyebabkan pergeseran teknologi dan pergeseran-pergeseran lainnya, termasuk model bisnis dan perubahan signifikan dalam peradaban manusia.
Profesor Pemasaran Klinikan NYU Stern bernama Scott Galloway berargumen bahwa di era modern ini, “the four horsemen of the Internet” adalah Apple, Amazon, Facebook, dan Google. Mereka mampu menggetarkan dunia dengan kombinasi market cap USD 1,3 trilyun, lebih besar dari GDP Korea Selatan. Bahkan, setiap pegawai mereka menghasilkan USD 5 juta bagi perusahaan.
Terlepas dari kehebatan mereka, ternyata masing-masing juga memiliki kelemahan-kelemahan yang sangat mendasar. Logikanya, apabila mereka saja mempunyai kelemahan-kelemahan yang kasat mata oleh kompetitor dan analis, bayangkan bagaimana lemahnya bisnis-bisnis lain?
Bagaimana kita menanggapi kenyataan perubahan landskap bisnis menentukan daya tahan dan daya saing. Untuk itu, kita perlu mengenali kelemahan-kelemahan kompetitor. Dalam artikel ini, penulis menggunakan contoh “the four horsemen of the Internet” yang dibandingkan dengan beberapa kompetitor.
Model komparasi ini bisa diterapkan dalam berbagai bisnis, termasuk bisnis Anda.
Amazon memiliki kelemahan dalam hal shipping cost. Pengeluaran pengiriman mereka mencapai USD 7 miliar sedangkan hanya menerima USD 3 miliar dari konsumen. Dua pertiga dari keseluruhan pengiriman menjelang Natal diberikan gratis, padahal tahun sebelumnya hanya sepertiganya.
Sebaliknya, bagi Uber, biaya transportasi malah menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tarif taksi biasa. Selain itu, pengendara Uber tidak perlu diberikan tip, namun biasanya di AS biasanya supir taksi diberikan 10 hingga 20 persen tip dari harga yang tertera di meter.
Amazon juga memiliki kelemahan nyata, mengingat toko buku brick-and-mortar yang dimilikinya masih sangat terbatas yaitu di Seattle University Village dan di kampus Purdue University, Indiana. Toko buku tersebut lebih merupakan drop ship center dan showroom daripada toko buku lengkap macam Gramedia di Indonesia.
Dibandingkan dengan retailer besar alias department store konvensional yang mempunyai toko secara fisik dan toko online, jelas Amazon akan sulit bersaing. Macy’s Department Store, misalnya, mempunyai model bisnis yang multichannel atau “omnichannel.” Dengan perubahan fokus dari brick-and-mortar ke e-commerce, Macy’s kini telah menutup 15 toko di mal-mal dan menginvestasikan USD 2 miliar untuk pengembangan e-commerce mereka.
Sedangkan Facebook sendiri tidak mempunyai model bisnis yang jelas. Hanya menjual iklan dan lokasi distribusi aplikasi-aplikasi berbayar. Dengan kata lain, Facebook lebih bersifat sebagai middleman atau intermediary. Dengan algoritma terkini, pesan-pesan Anda hanya akan diterima oleh 6 persen pengguna Facebook secara organik.
Walaupun pengguna Facebook telah mencapai 2,4 miliar, Anda hanya bisa menggapai mereka dengan iklan berbayar. Bagi pebisnis, ini merupakan kesempatan untuk membangun platform tanpa bayar. Instagram yang kini telah diakuisisi oleh Facebook merupakan platform tandingan yang diprediksikan akan melampaui Facebook.
Lantas bagaimana dengan dominasi Google? Google mulai kewalahan dalam kompetisi mobile search, di mana search bertarget lebih banyak dilakukan di Amazon. Google lebih Web friendly, padahal kini kebanyakan search dilakukan oleh mobile phone dengan mengandalkan aplikasi. Akibatnya, cost-per-click untuk iklan-iklan per klik Google menurun nilainya (dan harga per kliknya), yang berarti penurunan omzet.
Bahkan Google+ telah mati dengan 97 persen penurunan engagement rate. Google Glass tidak nyaman dipakai dan tidak begitu berguna bagi konsumen terlepas dari tingginya teknologi. Tanpa inovasi search engine dan revenue model yang berarti, Google mungkin akan terus memperbanyak diversifikasi tanpa menghasilkan revenue tambahan signifikan.
Apple kini lebih dari sekedar merek komputer dan teknologi. Ia telah menjadi merek luks (luxury brand) yang telah berpartner dengan merek-merek luks lainnya. Maturitas produk dan bisnis telah tercapai dan inovasi masih berjalan walaupun kini dalam skala lebih kecil dan lebih lambat setelah mediang Steve Jobs wafat.
Yang menarik dari Apple adalah kemampuannya dalam menerapkan strategi omnichannel sejak 14 tahun lampau. Apple Store ada di mana-mana, terutama di mal-mal internasional kelas atas. Apple juga telah melampaui batas-batas kultural dengan memasuki dunia kultur pop (pop culture) dengan ikon merek, ikon Steve Jobs, dan berbagai strategi pemasaran inspirasional.
Diprediksikan, Apple akan mencapai market cap USD 1 trilyun dengan transisinya sebagai merek luks yang dihargai oleh Generasi Milenial (GM). GM dikenal “anti merek luks” namun sangat menghargai produk-produk berkualitas tinggi yang multifungsi dengan daya capai omnichannel.
Uber akan mengalahkan Amazon, Facebook akan akan dikalahkan Instagram, Google telah mulai merosot, dan Apple akan menjadi merek luks. Bagaimana transformasi bisnis Anda? Kenali kelemahan-kelemahan Anda dan kompetitor sebelum terlambat.[]
KONTAN Daily, Jumat, 12 Agustus 2016