Select Page

mushroom450

Luar Biasa

[Download PDF LUAR BIASA Maret 2015.]

oleh Jennie M. Xue

Dalam berinteraksi dengan orang lain, sebaiknya kita menggunakan “asumsi terbaik.” Apa maksudnya? Begini, ketika baru berkenalan dan menjabat tangan seseorang, sering kali kita mengira-ngira siapa dia, apa pekerjaannya, apa pendidikannya, apa saja pengalaman-pengalamannya, dan siapa saja yang dikenalnya. Ini berhubungan erat dengan status sosial dan ekonomi seseorang.

Wajar saja jika kita ingin dekat dengan mereka yang memiliki banyak persamaan dengan kita. Namun, sering kali “proses mengira-ngira” seperti ini berujung persepsi yang salah karena menggunakan asumsi “terburuk.” Ini akan memalukan dan bisa berujung pada kesalahpahaman.

Pernahkah Anda “memandang remeh” seseorang yang kelihatannya sangat sederhana dalam berpakaian dan berkata-kata, sehingga Anda mengira ia hanyalah seorang “pegawai” biasa, padahal ia adalah pemilik perusahaan? Mindset bahwa “orang lain” itu biasa-biasa saja atau “lebih buruk dari kita” sesungguhnya merupakan bentuk ketidakpercayaan diri yang terproyeksi sebaliknya.

Seseorang yang percaya diri dan mempunyai keyakinan akan kemampuan sepadan dengan persepsinya, biasanya berasumsi “terbaik” terhadap orang lain. Mengapa? Karena ia tidak takut disaingi walaupun orang lain mempunyai banyak kelebihan. Bahkan dengan “berasumsi terbaik,” ia membuka hati untuk berbagai pengalaman baru karena persahabatan akan lebih mudah terjalin.

“Berasumsi tidak sepadan” dengan kita merupakan usaha meninggikan diri sendiri, paling tidak dari segi persepsi. Mungkin dilakukan tanpa kesadaran penuh alias “without mindfulness.” Tujuannya cukup jelas: supaya tidak merasa rendah diri apabila pihak lain ternyata “lebih baik.”

Di dalam alam bawah sadar, seringkali kita memiliki perasaan rendah diri yang kronis, namun aktivitas sehari-hari menunjukkan sebaliknya. Ini memang bisa dimengerti, namun bukan berarti membuat hidup lebih mudah.

Idealnya, kita berasumsi “terbaik” akan seseorang.

Misalnya, seseorang yang mengenakan celana jins dan baju kaos hitam berleher kura-kura dikenal sebagai pendiri dan pemilik Apple Computer bernama Steve Jobs. Jika Anda tidak pernah kenal Jobs dari berbagai media, mungkin Anda bisa “meleset” dalam menilainya. Ia kelihatan “biasa-biasa” saja dari segi penampilan, jadi bisa saja ia dianggap sebagai seseorang yang berprestasi “biasa-biasa” saja pula.

Juga seseorang yang telah mencapai hal-hal luar biasa memang cukup banyak yang memilih untuk berpakaian sederhana. Joko “Jokowi” Widodo yang baru terpilih sebagai presiden RI juga berpenampilan sederhana. Ini adalah kekuatan beliau yang sangat mencengangkan dalam kultur Indonesia yang dikenal feudal dan berstrata priyayi-wong cilik.

Tentu dalam interaksi kita dengan Presiden Jokowi, kita tidak lagi “berasumsi rendah” karena berbagai media yang kita baca dan dengar menunjukkan sebaliknya. Namun, bagaimana dengan mereka yang baru kita kenal dan tidak pernah diwawancara oleh media, sehingga kita tidak mengenal apakah seseorang itu punya karya-karya besar atau berasal dari keluarga terpandang.

Anda bisa saja berpikir bahwa “status sosial dan ekonomi” seseorang bisa dapat dengan mudah diketahui dari pakaian, perhiasan, tempat tinggal, almamater sekolah dan universitas, dan sebagaimana. Padahal, sebagaimana youth culture diwarnai dengan MP3, Facebook, dan nyanyi-tari hiphop, elemen-elemen sasterawi dunia bersifat universal, sehingga status sosial dan ekonomi saling bertumpang-tindih dan sulit dibedakan.

Bagi mereka yang sering bepergian ke luar negeri, bukti universalitas kultur dapat dengan mudah dibuktikan. Hampir setiap kota metropolitan mempunyai kemiripan dengan gedung-gedung pencakar langitnya dan merek-merek di billboard yang kebanyakan bersifat internasional. Jadi, sesungguhnya tidak sesederhana itu dalam “mengukur” kadar sosial dan ekonomi seseorang.

Youth culture tidak memperdulikan jumlah uang di bank, namun faktor-faktor lainnya, seperti coolness dan approachability. Dalam konteks “mengukur” dan “berasumsi” seseorang yang baru kita kenal, faktor-faktor non-finansial semestinya berbicara lebih lantang.

Akhir kata, mari kita memandang setiap individu sederajat dengan kita dan “berasumsi terbaik” akan segala sesuatu tentang individu tersebut, sampai terbukti sebaliknya. Dengan meyakini bahwa “life is beautiful,” hidup menjadi benar-benar baik.[]

Luar Biasa, Maret 2015

Pin It on Pinterest

Share This