oleh Jennie M. Xue
[Download PDF LUAR BIASA Februari 2015]
Kultur Timur, termasuk Indonesia, dikenal dengan berbagai perilaku di tempat kerja yang mencerminkan sikap “asal bapak (atau ibu) senang.” Dengan membungkukkan badan dan mengangguk-angguk, seseorang berperilaku ini biasanya menunjukkan rasa “nrimo” yang tinggi. Ia akan sangat jarang berkata “tidak” maupun “tidak tahu.” Ia akan berusaha sangat keras untuk menjalankan apapun yang ditugaskan kepadanya.
Dalam Kultur Barat, seperti di Amerika Serikat dan Eropa Barat, perilaku di tempat kerja lebih demokratis dengan hak berpendapat yang jelas dan dijalankan tanpa ragu-ragu. Apabila seorang anak buah mempunyai ide tertentu, ia dipersilahkan untuk mengemukakannya secara terbuka baik di dalam rapat maupun dengan pertemuan face-to-face.
Dari dua kultur di atas, yang mana yang lebih efektif untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari? Jawabannya tidak bisa singkat. Namun, untuk kepentingan efektivitas pencapaian tujuan, Ilmu Manajemen menekankan pentingnya “asertivitas.”
Apa sih “asertivitas” alias “menjadi asertif” itu? Sebelum kita jawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mengingatkan diri sendiri apa antitesis dari being assertive.
Jika Anda sering menyalahkan orang lain, Anda bukan orang asertif. Seorang asertif mempunyai sifat yang sportif. Jika Anda menyalahkan orang lain untuk suatu kesalahan maupun kegagalan, berarti Anda sedang melempar batu dan mencuci tangan. Seorang asertif menerima kesalahan atau kegagalan yang dialaminya sebagai sesuatu yang disebabkan olehnya.
Setiap pemimpin besar mempunyai sifat asertif. Ia akan mengakui kesalahan atau kekalahan timnya sebagai kesalahnnya, bukan kesalahan anggota-anggota tim yang dibinanya. Seorang negarawan juga mengakui hal ini dengan besar hati.
Jika Anda menjalankan hidup yang diatur oleh orang lain, Anda bukan orang asertif. Seorang asertif mengerti bahwa hidup dan kualitasnya tergantung dari usaha sendiri. Semakin besar dan cerdas usahanya, maka hidup semestinya bisa lebih baik.
Seorang usahawan besar mengerti betul bahwa keberhasilan bisnisnya ditentukan oleh dirinya sendiri yang didukung oleh pasar. Seorang pebisnis yang “ikut-ikutan” mungkin hanya akan mengikuti tren sekejap saja yang belum tentu bisa bertahan lama. Seorang bijaksana mengakui dan menerima bahwa kesuksesannya tergantung dari rencana kerja, motivasi, dan kualitas kerjanya sendiri.
Jika Anda tidak menjadi diri sendiri karena berbagai alasan, Anda bukan orang asertif. Anda sudah bukan anak-anak lagi yang perlu menjalankan berbagai “tugas” di rumah maupun sekolah. Kalau Anda mempunyai tugas di rumah dan tempat kerja, ini karena kesadaran bahwa hidup memerlukan aktivitas dan inilah yang menentukan ceruk, posisi, dan keberhasilan.
Jika Anda tidak merasa cukup baik, Anda bukan orang asertif. Anda punya pilihan untuk menjadi diri yang “cukup” maupun “tidak cukup.” Sebaiknya memilih yang pertama. Karena sesungguhnya, kita selalu cukup dengan apa yang kita miliki, terutama apa yang kita miliki sebagai pribadi, seperti intelek dan afeksi.
Seseorang yang mempunyai self-esteem yang baik akan selalu menghormati diri yang mempunyai keyakinan dan kemampuan yang setara. Dengan self-esteem dan asertivitas, hidup bisa dijalankan dengan lebih percaya diri. Dan keberhasilan menjadi lebih nyata. Terlepas dari kultur yang “asal bapak senang,” asertivitas memungkinkan manajemen profesional berjalan. Pimpinan yang “gila hormat” dan hanya menerima masukan yang ia sukai saja karena format yang “menyenangkan,” bisa membahayakan perusahaan dalam jangka panjang.
Jika Anda mudah sekali putus asa dan frustasi, Anda bukan orang asertif. Seorang asertif mempunyai instrumen yang selalu dibawanya ke mana-mana, yaitu keyakinan akan kemampuan diri yang sesuai dengan kapasitas sesungguhnya. Dan dengan asertivitas yang diterapkan, tidak perlu berputus asa dan frustasi, karena ia dapat mengulangi lagi atau mencari sesuatu yang baru sebagai pengganti.
Akhir kata, asertivitas merupakan suatu keyakinan diri yang terpancar dari perilaku berani berpendapat dan menjalankan apa yang diyakininya dengan berbagai potensi diri dan kapital yang dimilikinya. Asertivitas memungkinkan hidup berjalan tanpa perlu mengikuti keinginan siapapun serta berani menanggung resiko yang diakibatkannya. Selamat menikmati hidup dengan berani.[]
Luar Biasa, Februari 2015