oleh Jennie S. Bev
Apple
bukan lagi perusahaan idaman? Turunnya 35% harga saham Apple setelah gross
margin turun 38.6% baru-baru ini merupakan fenomena yang perlu diteliti. Apa
penyebabnya? Mengapa pasar lebih mengampuni Amazon?
Nilai
Apple sekarang USD300 miliar atau 2 kali omzet per tahun atau 7 kali profit
USD40 per tahun. Turunnya saham Apple sebesar USD 238 miliar market cap adalah
sebesar total nilai Wal-Mart. Bagi pasar saham, ini adalah ketenggelaman
Titanik.
Anehnya,
Amazon yang mengalami 45% penurunan laba bersih, hanya mengalami penurunan
nilai saham 2.09%. Tampak bahwa pasar lebih mengampuni Amazon dari Apple,
mengapa?
Pertama,
Apple menjual produk idaman konsumen dan kompetitor. Konsumen menyukai desain
dan kecanggihan teknologinya. Kompetitor tergiur dengan 44% profit margin
produk smartphone dan tablet. Amazon sendiri bukanlah “gadis seseksi” Apple,
mengingat ia hanya menjual produk-produk konsumen, yang dimulai dari buku dan
DVD. Profit margin yang super tipis sekitar 1.7% sampai 1.9% sesungguhnya cukup
memberatkan bagi kompetitor.
Amazon
bisa bertahan karena skala masif yang telah dibangun selama belasan tahun dan
produk-produknya tidak canggih. Kindle perangkat baca ebook sendiri bukan
produk yang high-end. Dari dua Kindle reader yang saya miliki, dua-duanya sudah
ratusan kali hang. Namun, pelayanan pasca jual Amazon inilah yang saya puji.
Kindle reader yang saya miliki sudah ditukar 3 kali. Ya, tiga kali, dan sudah
lebih dari 1 tahun masa garansi.
Apple
dengan produk bermargin besar merupakan giuran luar biasa bagi kompetitor.
iPhone 5 tidak mempunyai fitur yang luar biasa sehingga konsumen yang memiliki
iPhone 4S tidak merasa perlu untuk tukar tambah. Belum lagi kompetitor yang
tidak kenal lelah berinovasi.
Samsung
dengan kompetisi ala Korea yang low-cost namun luar biasa dalam meniru
kehebatan produk lain, sudah menjadi pesaing yang signifikan. Samsung Galaxy
yang sedikit lebih besar dari smartphone namun lebih kecil dari tablet computer
merupakan produk yang belum disaingi oleh Apple. Kini Apple-lah yang kawatir
akan disaingi oleh Samsung, bukan sebaliknya.
Amazon
dengan jutaan produk fisik dan kasat mata sudah menjadi bagian hidup yang
mendarah daging. Setiap kebutuhan akan buku, film, elektronik, dan sekarang
juga fashion, pastilah Amazon yang diingat. Apple hanya diperlukan ketika sudah
saatnya upgrade telpon genggam dan komputer tablet.
Amazon
sudah menjadi “sahabat” setiap hari, sedangkan Apple hanyalah “kekasih” yang
dijumpai sekali-sekali. Sebagai penulis dan pebisnis informasi yang perlu
update informasi setiap hari, saya mengunjungi Amazon.com paling tidak satu
kali dalam sehari. Kapan saya mengunjungi Apple.com? Mungkin tidak ada dua
tahun sekali, hanya ketika sudah saatnya upgrade iPhone, iPad, dan MacBook
saja.
Profit
margin mini Amazon yang kurang dari 2% bisa membuat mereka bertahan mengingat
operating cost mereka yang jauh lebih streamlined daripada kompetitor. Juga
dengan profit margin minimal dan skala masif mereka, Amazon tidak mengundang
kompetitor. Retailer online lainnya hampir mustahil bisa menyaingi Amazon dari
segi komprehensifnya produk yang mereka jual serta rapinya pergudangan dan
pengiriman mereka.
Walaupun
business model Amazon sangat mudah ditiru, revenue model mereka sangat sulit
ditiru. Bisakah kompetitor bergerak seefisien mereka hanya dengan profit margin
2%? Belum lagi “repot”nya mengurus jutaan produk. Tanpa sistem logistik dan
pergudangan yang luar biasa rapi, mustahil bisa memiliki bisnis seperti mereka.
Kelebihan
Apple adalah desain dan pemasaran ala Steve Jobs yang memukau. Menggunakan
produk-produk Apple seakan mengendarai Rolls-Royce Bentley. Sedangkan Amazon
adalah retailer produk-produk biasa alias “warung tetangga” tempat belanja
sehari-hari yang penting murah dan baik servisnya. Belanja di Amazon bukanlah
karena tergiur merk dan imajinasi akan kekuatan produk. Belanja di Amazon lebih
karena mereka bagian dari hidup kita.
Dalam
kasus ini, Apple adalah primadona, sedangkan Amazon adalah “asisten” yang
sangat kita butuhkan. Dan pasar lebih menghargai “sang asisten” daripada
“primadona.” Sampai kapan Apple bisa bertahan sebagai “primadona” masih menjadi
tanda tanya. Bandingkan dengan Sony yang pernah menjadi primadona di tahun
1980an. Ke mana Sony sekarang? Merek yang kuat bukanlah jaminan kelanggengan.
Bisnis Anda ala Apple atau ala
Amazon? Pilihan di tangan Anda.[]
KONTAN Daily, 1 Maret 2013