[Download PDF KONTAN WEEKLY Anak Berjiwa Entrepreneur]
oleh Jennie M. Xue
Entrepreneurship merupakan personality trait yang menggabungkan rasa percaya diri (konfiden), dorongan kerja (drive) stabil, kekenyalan (resiliensi), dan keberanian yang dapat diukur dengan waktu, output, dan uang. Semakin dini dilatih, semakin baik masa depan seseorang. Apapun profesi yang dimilikinya.
Seorang entrepreneur yang baik juga mempunyai lebih dari sekedar kata hati dalam bertindak. Ia mengenali pasar, produk, dan potensi yang dapat digali dari keduanya.
Ia juga mengenali branding dan berstrategi dalam pelaksanaanya. Jadi, ia tidak hanya berkonsep “saya perlu bekerja lebih keras” namun mampu menterjemahkan “bekerja lebih keras” dalam strategi yang dapat dieksekusi dan diukur.
Lantas, mungkinkan kita membesarkan anak-anak berjiwa entrepreneur? Sangat mungkin. Bahkan akan sangat ideal apabila dikombinasikan dengan pendidikan perguruan tinggi.
Membesarkan anak-anak berjiwa entrepreneur sejak dini berarti memperkenalkan mereka sejak dini personality trait entrepreneur dan arti pasar, produk, dan strategi bisnis. Pengenalan ini tidak perlu dilakukan secara khusus, namun dengan mengajak membaca “apa dibalik” suksesnya suatu aktivitas.
Sebagai contoh di AS, anak-anak diajarkan untuk menjajakan air lemon segar di musim panas di muka rumah mereka sebagai cara untuk mendapatkan sedikit uang saku. Setelah duduk di bangku SMP atau SMA, cukup banyak yang menerima pesanan momotong rumput di halaman tetangga.
Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, anak diperkenalkan tidak hanya kepada konsep berbisnis dan jual beli, namun juga bagaimana mempertahankan niat berbisnis. Niat yang membara merupakan kunci keberhasilan setiap entrepreneur sukses. Setelah itu, barulah konsep-konsep bisnis lainnya jadi punya arti.
Kenali apa saja yang menjadi kurositasnya, kegemarannya, dan perhatian khususnya. Kembangkan semua itu sambil memasukkan unsur-unsur bisnis, seperti budgeting dan marketing sambil mengasah terus personality trait seorang entrepreneur.
Seorang dokter dan pengacara sekalipun perlu “menjual” keahlian mereka. Dan ini memerlukan business acumen yang memadai. Dengan memperkenalkan entrepreneurship sejak dini, pola pikir bahwa setiap skill perlu “dijual” telah tertancap.
Dengan kata lain, “idealisme” apapun perlu dijual. Seseorang yang “idealis” pun mempunyai sesuatu yang dijual, yaitu “ide mulia.” Ingat ini.
“Menjual” sendiri bukanlah sesuatu yang tabu, namun merupakan konsekuensi dari kelebihan yang dimiliki. Dengan kata lain, untuk apa memiliki berbagai kelebihan (dalam bentuk produk tangible atau intangible), jika tidak ada yang menikmatinya? Untuk bisa dinikmati banyak orang, kita perlu “menjual.”
Bahkan, di era serba kilat Internet ini, kemungkinan sukses sangat besar, sepanjang mempunyai 3 elemen: ide jenius, konfiden yang besar, dan kemampuan mempertahankan stamina kerja. Tiga hal ini saling mengikat satu sama lain.
Jadi, seorang ayah atau ibu yang mendidik anak-anak menjadi entrepreneur perlu mengasah tiga elemen ini terus-menerus dengan berbagai aktivitas. Gunakan berbagai game (permainan), misalnya dengan Q&A game, di mana orang tua bertanya dan anak menjawab di mana jawaban yang semakin jenius dan kreatif itulah yang “menang.” Juga gunakan setiap masalah keluarga sebagai instrumen bagi anak untuk membantu memecahkannya.
Beberapa studi kasus anak-anak yang sukses dididik sebagai entrepreneur:
Paige Mycoskie, misalnya, sangat suka dengan hal-hal berbau seni. Ia meminta kepada kakek dan neneknya USD 200 ketika berulang tahun, yang dibelikan mesin jahit. Kini ia mempunya lima toko Aviator Nation.
Robert Stephens yang senang membongkar pasang barang-barang elektronik ternyata tumbuh dewasa sebagai entrepreneur sukses dibalik Geek Squad.
Kevin Plank dibesarkan dengan slogan ibunya bahwa “tidak ada problem di dunia ini, yang ada hanyalah solusi yang belum ditemukan. Kini ia sukses dengan UnderArmour yang mendesain T-shirt kering bahkan ketika berkeringat.
Jon Chu kecil senang menonton video dan lebih suka mengkomunikasikan isi makalah sekolahnya daripada diketik. Jadilah ia sekarang sutradara kawakan kelas dunia.
Michael Chasen sangat senang bermain dengan komputernya, jadilah ia seorang entrepreneur pencipta CMS (content management system) untuk kelas-kelas online bernama BlackBoard yang dijual seharga USD 1,5 miliar.
Konklusinya, orang tua perlu mendukung kegiatan-kegiatan positif di luar sekolah tanpa “menghakimi” apakah suatu kegiatan itu bernilai atau tidak. Kuncinya adalah bagaimana kegiatan tersebut meningkatkan personality trait konfiden, stabilitas, kekenyalan, dan keberanian yang dapat diukur.[]
KONTAN WEEKLY, 29 Agustus – 4 September 2016