Select Page

  Kontan

Download KONTAN Daily Krisis Finansial Terulang

oleh Jennie S. Bev

Krisis
Finansial Asia 1997 masih segar dalam ingatan. Lagi-lagi Asia mengalami
perlambatan bertumbuhan ekonomi. Cina, India, and Indonesia sudah mulai
merasakannya. Apakah krisis ekonomi masif akan terulang? Apa yang perlu kita
siapkan?

Pertama,
ada dua cara pandang tentang mengapa Krisis Finansial Asia 1997 terjadi. Yang
pertama adalah keyakinan bahwa pergeseran mendadak dalam ekspektasi pasar dan
melemahnya kepercayaan publik merupakan akarnya. Diperburuk dengan panik para
investor dan tindakan bailout IMF yang kurang tepat, maka krisis semakin
menjadi.

Yang
kedua adalah krisis sebagai refleksi distorsi struktural dan kebijakan yang
lemah di negara-negara yang terkena krisis. Dengan kata lain, ia merupakan
akibat dari kegagalan kebijakan-kebijakan ekonomi, terutama di sektor perbankan
dan finansial. Ditambah dengan defisit perdagangan, depresiasi nilai tukar,
tingginya hutang luar negeri, dan tingginya angka pertumbuhan ekonomi PDB
merupakan faktor perkalian. 

Menurut
tim yang terdiri dari para ekonom papan atas Giancarlo Corsetti dari Yale dan
Bologna University, Paolo Presenti dari Federal Reserve Bank of New York, dan
Nouriel Roubini dari New York University, krisis 1997 tersebut disebabkan oleh
ketidaseimbangan akun dan fundamental makroekonomi, lemahnya sistem finansial,
dan ketidakseimbangan akumulasi dan manajemen hutang luar negeri.

Berbagai
ketidakseimbangan ini menyebabkan krisis. Dalam fase awalnya, reaksi pasar yang
berlebihan dan perilaku ikut-ikutan memperdalam turunnya mata uang dan
nilai-nilai aset. Ini mengakibatkan krisis yang luar biasa. Tingkat PDB yang
mendekati 10 persen sebelum krisis dipandang “normal.” Padahal ini sendiri bisa
jadi merupakan kesalahan perhitungan. PDB Asia saat itu berdasarkan Total
Factor Productivity (TFP) menurut ekonom Paul Krugman.

Lingkungan
bisnis global saat itu terbentuk oleh liberalisasi pasar saham dan industri
finansial, sehingga uang “murah” dan “mudah” diperoleh. Uang murah selalu
merupakan “momok” di mana peminjaman dana menjadi semakin tidak terkendali dan
berbagai proyek bisnis yang sulit break even semakin menjamur. Overlending meningkatkan resiko dan
memberikan “rasa nyaman yang semu.” Kondisi ini rentan sebagaimana seekor katak
yang dipanasi pelan-pelan dan mati.

Hutang
luar negeri jangka pendek saat itu melebihi 50 persen. Di Korea, Indonesia, dan
Thailand angkanya melebihi 100 persen. Ajaibnya, rendahnya rate of return tidak
menyebabkan jera. Malah mengharapkan bailout dari IMF. Di sini terbaca moral
hazard di mana “ekonomi adalah masalah perilaku.” 

Defisit
perdagangan sendiri cukup tinggi sebelum krisis terjadi. Berdasarkan data
National Income Account (NIA), Thailand berdefisit lebih dari 9 persen, Malaysia
10 persen, Filipina 5 persen, dan Indonesia juga 5 persen. Cina, Hong Kong,
Taiwan, dan Singapura mempunyai surplus NIA sehingga aman-aman saja.

Selain
itu, debt-to-GDP ratio menentukan solvency. Resource balance gap diperlukan
dalam neraca perdagangan. Negara-negara dengan deficit besar mempunyai gap yang
besar. Gap Indonesia saat itu 3.3 persen sedangkan Malaysia 2.3. 

Tingkat
national saving dan investasi juga menentukan factor sustainability. Investasi
dan konsumsi sama-sama diperlukan agar ekonomi bisa berkesinambungan. Indonesia
dan Filipina, sayangnya mempunyai angka investasi yang rendah dan angka saving
yang juga rendah.

Apakah
Indonesia sedang menuju Krisis Ekonomi seperti 1997 kembali? Jawabannya tidak
ada yang sederhana dan pasti. Ekonomi global masih goyah dan belum stabil. AS
dan Eropa sendiri masih berjuang dengan angka pengangguran tinggi dan
pertumbuhan PDB yang rendah. Dibandingkan dengan angka 6,3 Indonesia, ini masih
jauh lebih baik daripada angka satu koma di pelbagai negara. 

Bagaimana
Indonesia bisa mengatasi pelemahan rupiah terhadap dollar, menstabilkan tahun
politik pra-Pemilu tahun depan, memperbaiki neraca perdagangan luar negeri, dan
meningkatkan investasi luar negeri yang disertai dengan perbaikan berbagai
kebijakan yang mengutamakan fokus jangka panjang merupakan kunci penyelamat
Indonesia dari krisis. Kemungkinan untuk kembali ke krisis ekonomi seperti 1997
tentu ada, namun ini tidak perlu membuat kita menghentikan konsumsi maupun
menabung. Kedua hal ini perlu seimbang dibarengi dengan peningkatan produksi.[]

KONTAN Daily, Jumat 11 Oktober 2013

Pin It on Pinterest

Share This