Select Page

[Download PDF KONTAN WEEKLY Afluenza dan Materi]

oleh Jennie M. Xue

Kapitalisme itu perlu. Namun kapitalisme yang hanya mencari laba tanpa memperdulikan masa depan Planet Bumi, generasi mendatang, dan kesehatan fisik dan mental, bukanlah bentuk kapitalisme yang sustainable.

Bagaimana dengan ideologi Anda sebagai individu? Senang shopping barang-barang yang sesungguhnya tidak diperlukan? Bagaimana kondiri rumah tinggal Anda? Penuh sesak dengan berbagai produk yang jarang digunakan?

“Afluenza” adalah istilah populer yang digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang terkena penyakit (influenza) kekayaan (affluence). Afluenza adalah “penyakit” teradiksi konsumsi.

Sebagai pebisnis dan eksekutif, mungkin Anda mengikuti tren produk-produk terkini dan menggunakannya. Tentu ini bisa diterima, sepanjang mengenali kualitas dan tidak teradiksi.

“Batas” konsumsi tentu berbeda setiap individu, mengingat income dan kebutuhan yang berbeda. Namun, sekaya apapun Anda, sebaiknya mengenali dan mengaplikasikan “batas” konsumsi.

Setiap produk yang kita gunakan mempunyai “social cost,” yaitu “harga sosial” terhadap kondisi lingkungan. Menurut studi, “harga sosial” satu roti burger USD 4.50, padahal mungkin harga jual kurang dari itu.

“Harga sosial” itu apa sih? Berbagai bentuk penggunaan alam, lingkungan, dan sumber daya manusia yang dalam proses produksi suatu produk. Misalnya, berapa volume air yang dibutuhkan untuk mengairi tanaman tertentu sebelum dikonsumsi.

“Harga sosial” semakin tinggi dari “harga jual,” berarti dampak negatif semakin buruk. Yang akan “membayar” harga sosial ini adalah kondisi alam, planet, dan masyarakat baik sekarang maupun di masa depan.

Idealnya, kita membeli produk-produk dengan social cost minimal atau bahkan nol. Namun, mengingat konsumen mempunyai keterbatasan dalam mengenali asal dan proses produksi produk, aksi kita terbatas.

Salah satu pilihan penulis dalam ikut serta meminimalkan “harga sosial” adalah dengan hanya membeli produk-produk yang sungguh-sungguh diperlukan. Produk-produk fashion, misalnya, bisa dibatasi dengan konsep “capsule fashion” dan tidak menumpuk pakaian di lemari.

Beberapa tokoh kultural dan bisnis internasional, misalnya, memilih untuk hidup dengan 100 benda pribadi saja. Tentu mereka yang sangat militan dalam menjaga “harga sosial” ini sangat terbalik filosofi hidupnya dengan keluarga Kardashian dan Trump.

Keanu Reeves, aktor terkenal The Matrix, juga dikenal sangat militan dalam kepemilikan benda pribadi. Ia memilih hidup praktis dan tidak terbelenggu oleh materi.

Honor dari film The Matrix yang diterimanya, 90 persen didonasikan kepada kru film yang berpenghasilan tidak seberapa. Dengan tidak terbelenggu materi dan uang, Reeves menemukan kebahagiaan yang “membebaskan” (liberalisasi diri).

“Afluenza” sendiri bukan berarti hanya diderita oleh mereka yang kaya dan punya cukup uang untuk membeli produk secara berlebihan. Afluenza banyak diderita oleh mereka yang hidup pas-pasan sebagai kelas menengah dan menengah bawah.

Malah “kompetisi” untuk tampil keren dan mewah cukup banyak dialami oleh mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Income inequality sering kali bukan menjadi penghalang untuk kelihatan ekual.

Mengkonsumsi berlebihan memang merupakan “kebiasaan buruk” manusia, namun ini berarti tidak bisa diubah. Menurut Profesor Antropologi UCLA Allen Johnson, manusia di Zaman Batu dan di suku-suku terasing Amazon masih menjalankan gaya hidup “bekerja untuk hidup” dan tidak mengejar materi.

Jadi, menurut ilmu pengatahuan, sesungguhnya manusia bukanlah makhluk pengejar materi. Kondisi modern penuh godaan dan sistem ekonomi dan desain bisnis yang sangat mulus merupakan mesin yang menarik manusia untuk teradiksi mengkonsumsi.

Berdasarkan survei yang diadakan oleh New American Dream di tahun 1995, sekitar 86 persen dari yang telah mereduksi konsumsi merasa lebih bahagia. Jadi, bahagia karena mengkonsumsi sebenarnya hanya mitos.

Adiksi mengkonsumsi dapat ditelusuri dari hormon pencipta rasa nyaman dopamine yang dikeluarkan di dalam otak. Jadi setiap kali mengkonsumsi sesuatu, biasanya ketika shopping, dopamine dikucurkan. Dengan “kebanjiran” dopamine, ada rasa bahagia “semu.”

Intinya, kita tidak dapat hidup tanpa materi, namun kita mampu mengendalikan diri untuk tidak mengakumulasi produk secara berlebihan. Materi itu baik apabila fungsional dan tidak dijadikan “sumber” rasa bahagia semua akibat hormon dopamine.

Dengan membatasi konsumsi dan melek “social cost,” kita dapat berpartisipasi dalam menjaga ekologi. Dengan melakukan hal-hal kecil yang dapat mengurangi beban Planet Bumi, kita telah membantu melestarikan masa depan dunia.[]

KONTAN WEEKLY, 13-19 November 2017

Pin It on Pinterest

Share This