[Download PDF KONTAN Weekly Strategic Thinking]
oleh Jennie M. Xue
Tiga hal yang menentukan suksesnya sebuah strategi: pengetahuan, perencanaan, dan kemampuan. Seorang pemimpin strategik secara simultan perlu menggabungkan beberapa kontrol (SDM, kultur, dan proses) dan instrumen sambil memberi arah (tren pasar, kebutuhan konsumen, dan daya saing).
Ini membutuhkan kemampuan penggunaan daya nalar tinggi dalam mengenali permasalahan dan memberikan solusi. Juga kemampuan berkomunikasi dengan berbagai audiens yang berlatar belakang berbeda-beda. Singkat kata, pemimpin strategik bisa bergerak “di atas” dan “di bawah,” bahkan “di antara keduanya.”
Menurut pakar strategi Rich Horwath dalam bukunya Elevate: The Three Disciplines of Advanced Strategic Thinking, seorang pemimpin strategik perlu mengenal dan menerapkan “visi yang ter-elevasi” alias mampu menggunakan paradigma makro alias global yang diterjemahkan ke dalam aktivitas-aktivitas mikro. Kemampuan menganalisa dengan paradigma terelevasi ini memang cukup langka di antara para manajer.
Pendapat ini diiyakan oleh The Conference Board yang telah mengadakan riset terhadap perusahaan-perusahaan terbuka (publicly listed companies) di mana 70 persen di antaranya mengalami stagnasi akibat dari strategi tidak tepat. “Kegagalan strategik” ini biasanya diabaikan dengan menggunakan “kambing hitam” faktor-faktor eksternal, seperti keadaan ekonomi global.
Mantan Menteri Keuangan AS Paul O’Neill berpendapat bahwa sesungguhnya perusahaan yang berstrategi baik tidak tergoyahkan oleh situasi ekonomi seburuk apapun. Mereka mempunyai pemimpin-pemimpin yang mampu memprediksi masa depan secara tepat dan menjalankan berbagai strategi yang sesuai.
Yang dimaksud dengan “strategi yang sesuai” di sini adalah berbagai aktivitas bisnis yang tetap berdaya saing tinggi dalam situasi ekonomi apapun. Bahkan ketika industri yang bersangkutan sedang mengalami perubahan perilaku konsumen besar-besaran, seperti perubahan dari penggunaan faksimili ke email, dari buku-buku cetak ke buku-buku elektronik, dan dari orientasi manual dan analog ke digital dan “Internet of things.”
Berbagai data sets digunakan dalam pengambilan keputusan strategik. Namun informasi tidak mungkin mensubstitusi pemahamam mendalam dan kemampuan mentransfer informasi dan pemahaman ke dalam implementasi. Cukup banyak manajer yang mempunyai jurang besar antara “pengetahuan dan pemahaman” dengan “implementasi.”
Kodak dan Sony, misalnya, gagal dalam mengikuti tren kamera digital dan MP3 player. Ini merupakan kesalahan strategi kolosal, padahal kedua perusahaan ini sudah lama mengenal kekuatan digitalisasi teknologi. Terlepas dari keadaan ekonomi yang sesungguhnya masih sangat baik untuk produk-produk digital bahkan di dalam resesi global berkepanjangan.
Terlepas dari pertumbuhan ekonomi global yang masih belum sepesat beberapa tahun yang lampau, tantangan bagi para pengambil keputusan berkisar pada keterbatasan waktu, lemah komitmen, prioritas kurang tepat, status quo, tidak memahami apa arti “strategi” sesungguhnya, minimnya instrumen untuk berpikir strategis, kurang sinkroni, terlalu reaktif, rendahnya kualitas data, dan arah perusahaan yang tidak jelas. Demikian menurut pakar strategi Rich Horwath.
Memiliki perspektif terlalu mendetil merupakan salah satu bentuk dari output sepuluh tantangan di atas. “Perspektif mikro” lebih tepat untuk manajemen kualitas dan produksi, bukan strategi keseluruhan. Pola pikir strategis sangat berbeda dengan pola pikir mikro yang sangat mendetil, namun bukan berarti bisa diabaikan.
Rich Horwath menambahkan tiga dasar dalam pola pikir strategis: akumen, alokasi, dan aksi. Akumen diperlukan untuk mengambil intisari bisnis (business insights), alokasi agar memiliki berbagai alternatif dan back-up plan, dan aksi merupakan jembatan dari perencanaan dengan realita implementasi. Di antara ketiganya, kepemimpinan komunikatif dan kedewasaan berpikir.
CEO Pepsico Indra Nooyi dan CEO Yum Brands (KFC, Pizza Hut dan Taco Bell) David Novak berpendapat sama. Akumen bisnis yang baik menentukan strategi yang kuat namun lentur. Bahkan Profesor Business School Harvard bernama Boris Groysberg menambahkan bahwa para eksekutif C-level sudah seharusnya berpikir strategis secara alami dan berkemampuan sebagai kolaborator ulung yang menciptakan mekanisme strategis yang meningkatkan competitive advantage.
Advanced strategic thinking sebenarnya tidak sulit. Intinya adalah kemampuan mengambil dan menerapkan business insights. Ingat, mengenal belum berarti mengetahui. Mengetahui belum tentu mampu mengimplementasi. Ketiga hal ini mempunyai tingkat pemahaman berbeda.[]
KONTAN Weekly, 27 April-3 Mei 2015